Hai sahabat, yang selalu tertangkap
dalam lensa mataku adalah kegembiraan.
Telah kurekam tingkah polahmu lewat tawamu yang renyah, celotehmu yang riuh,
matamu yang selalu berbinar dan pelangi yang terbentang pada tiap hadirmu
hingga siapapun disampingmu menikmati berwarnanya hari.
Aku bukan jenius yang pandai
mengkalkulasikan banyaknya masa yang kita lewati bersama karena kau juga pasti
sadari banyaknya digit angka tak cukup mendekripsikan saat-saat yang kita
jalani.
Aku sadar
akan percik sedih yang kau wujudkan dalam rupa candaan dibalik topeng senyummu.
Sayangnya kepekaanku yang selalu datang terlambat membuatmu menelan pil pahit
itu sendirian.
Ingin
sekali kugandeng tanganmu ketika kau menyusuri selaksa uji dari Sang Maha
Pemilik Nyawa. Namun apa daya, aku hanya orang yang terkadang tak di sampingmu
saat kau berduka, tak mengobati saat kau terluka, juga tak hadir saat kau
bahagia.
Sore
kemarin awan kelabu menyapa diikuti dengan iring-iringan air yang mulai
berjatuhan dari langit; di tempatku, mungkin di tempatmu berbeda. Langit yang
sama dengan tempat berpijak yang berbeda. Bumi yang sama, tapi bisa saja
kondisi menyamar menjadi tak serupa.
Kau tahu, derasnya
membuatku mencium aroma rindu dari tanah basah yang dikecup hujan. Ketika
dentingnya bicara perihal perjumpaan, dinginnya berkisah tentang realita yang
mematahkan ilusi ruang dan waktu; berupa jarak yang memisahkan.
0 komentar:
Posting Komentar