Belakangan ini, banyak isu-isu yang ramai dibicarakan di media terutama isu SARA. Jika kita perhatikan, konflik yang terjadi di media sosial bisa lebih ramai dibandingkan di real life. Jika dalam real life, orang yang memiliki pemikiran tidak sepaham biasanya akan telihat lebih tenang dan tidak sampai menimbulkan keributan, lain halnya dengan yang terjadi pada media sosial.
Di media sosial, orang-orang menjadi lebih ekspresif dalam menanggapi pemahaman yang berbeda seperti berani mengeluarkan kata-kata kasar bahkan ancaman, hingga tidak jarang hal tersebut menimbulkan keributan. Kejadian seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di beberapa negara lain pun sering terjadi kondisi seperti ini. Lantas apa alasannya seseorang bisa menjadi lebih “garang” di media sosial?
Pengguna media sosial bersifat anonim, artinya tanpa identitas yang jelas. Ketika seseorang bisa menggunakan identitas yang tidak jelas dan tidak diketahui, maka orang tersebut bisa lebih bebas melakukan apa saja tanpa rasa takut jika nanti akan ketahuan. Ia bisa berucap kasar atau menyebarkan fitnah sekalipun tanpa khawatir akan ada yang mencarinya.
Memang sudah ada UU ITE untuk menanggulangi hal tersebut, tetapi tidak semua pelaku penyebar fitnah atau provokasi bisa tertangkap. Pihak yang berwajib tidak akan sempat melacak satu per satu pengguna media sosial, dan kalaupun tertangkap akan sulit membuktikannya.
Karena anonimitas ini juga seseorang mudah untuk mendukung orang lain yang sepaham dengannya. Pihak pro dan kontra bebas memberikan dukungan sehingga kedua belah pihak saling bertarung dengan menggunakan
identitas yang sama-sama tidak jelas untuk memperjuangkan isu tertentu.
Jika dalam real life kita cenderung ada kekhawatiran akan “dimusuhi” ketika memberikan dukungan kepada pihak yang berbeda dengan yang didukung oleh mayoritas lingkungan kita, maka dalam media sosial kita bisa lebih ekspresif untuk memberikan dukungan tentunya dengan menggunakan identitas lain tanpa ketahuan bahwa kita telah mendukung pihak tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa di media sosial seseorang bisa lebih ekspresif.
Selain itu, media sosial memiliki jangkauan yang luas. Hanya dengan mengklik Share, sebuah konten berisi fitnah atau provokasi bisa menjangkau jutaan orang. Kemudahan inilah yang menjadikan media sosial sebagai media provokasi yang ampuh. Berbeda dengan ketika kita mau mengungkapkan pemikiran lewat artike di media cetak harus melalui proses yang tidak mudah, atau jika kita melakukan demonstrasi dengan berteriak-teriak, belum tentu ada yang mau mendengarkan.
Biaya yang murah dan resiko yang kecil juga menjadi salah satu alasan. Hanya dengan bermodalkan kuota internet, seseorang bisa dengan mudah menyebarkan fitnah atau provokasi. Resiko yang dihadapi juga bisa dibilang kecil. Jika dulu perseteruan kelompok dilakukan dengan tawuran hingga tidak jarang menyebabkan jatuhnya korban jiwa, “tawuran” di media sosial dapat dilakukan sambil duduk santai. Kalaupun dikenai banned, masih bisa membuat akun baru.
Dengan adanya media sosial, seseorang bisa mendapatkan informasi kapan saja dan dari mana saja dengan mudah, serta bisa berkomunikasi dengan seluruh orang di belahan dunia manapun. Perkembangan teknologi diciptakan dengan harapan bisa mendukung dan memudahkan aktivitas manusia, tetapi ketika digunakan dengan tujuan yang tidak baik malah akan menimbulkan dampak negatif.
Sama halnya dengan media sosial yang seperti dua mata pisau, bisa bermanfaat atau malah melukai tergantung bagaimana kita menggunakannya. Maka dari itu, jadilah pengguna media sosial yang cerdas dan bertanggung jawab, salah satunya dengan cara memilah informasi yang diterima. Sekiranya informasi tersebut bersifat provokatif atau tidak terbukti kebenarannya, kita tidak perlu menyebarkannya.
Fitria Wulandari
Bandung, 3 Mei 2017
0 komentar:
Posting Komentar