*numpang eksis ._.v abaikan pose macem anak TK* |
Bismillahirrahmanirrahim.
Entah bisa disebut feature atau tidak, yang jelas tulisan ini merupakan hasil dari kunjunganku bersama dengan kawan-kawan kelas B angkatan 2015 jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Bandung ke Kampung Adat Cireundeu pada Kamis, 16 November 2017. Kunjungan tersebut merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Bahasa dan Budaya Sunda.
Terlepas dari latar belakang beban tugas mata kuliah, pengalaman berkunjung dan berbincang langsung dengan beberapa tokoh dari masyarakat adat tersebut memberikan kesan tersendiri bagi kami –khususnya bagiku– dalam memaknai bagaimana manusia menuhankan Tuhan, manusia yang hidup di alam dunia, dan manusia yang memanusiakan manusia.
Tanpa bermaksud mengunggulkan satu suku di atas beragamnya suku bangsa lain yang ada di Indonesia, aku hanya berusaha menyampaikan kembali pelajaran yang kuperoleh. Sekedar tambahan, aku sendiri berasal dari keluarga Jawa, tapi itu tidak menjadi pembatas bagiku untuk meraup pelajaran dan kebaikan dari mana saja.
Terakhir, tulisan ini mungkin cukup panjang jadi aku akan membaginya dalam tiga bagian. Tanpa basa basi lagi, cuss langsung saja pembahasan...
***
Kampung adat Cireundeu merupakan salah satu kampung yang berada di Kota Cimahi, Jawa Barat, tepatnya terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Sebenarnya di wilayah “Cireundeu” terdapat beberapa rukun warga (RW) yang dihuni oleh berbagai penduduk dengan beragam kepercayaan, tetapi masyarakat adatnya sendiri terkhusus berada di RW 10.
Pada dasarnya, kehidupan masyarakat kampung adat Cireundeu sama dengan masyarakat pada umumnya yang hidup dengan harmonis. Hal unik yang membedakan masyarakat adat Cireundeu dengan masyarakat umum adalah
masih dipegang teguhnya adat istiadat dan kebudayaan Sunda yang sangat kental. Jadi tidak heran kenapa kampung tersebut dinamai Kampung Adat Cireundeu.
Salah satu prinsip yang dipegang oleh masyarakat adat Cireundeu adalah “Ngindung ka waktu, mibapa ka jaman”, maksudnya mereka sebagai warga kampung adat memiliki ciri, cara, dan keyakinan masing-masing, tetapi juga tidak melawan perubahan. Mereka tetap mengikuti perkembangan zaman, terbukti dengan didapatinya akses informasi melalui televisi, penerangan yang memadai, bahkan penduduknya juga menggunakan gawai berupa telepon pintar untuk keperluan komunikasi dan informasi.
Perihal kepercayaan, penduduk kampung adat Cireundeu masih menganut kepercayaan leluhur atau orang sering menyebutnya Sunda Wiwitan. Pada dasarnya, Sunda Wiwitan sendiri bukanlah agama. Jika dilihat dari segi kebahasaan, kata Sunda mengacu pada sebuah suku di Indonesia, yaitu suku Sunda. Sementara kata Wiwitan berarti asal atau permulaan. Jadi yang dimaksud dengan Sunda Wiwitan sebenarnya bukanlah term agama melainkan jati diri (mereka) sebagai “Orang Sunda”.
Meski tidak termasuk pada satu dari beberapa agama yang umum dikenal di dunia –atau bahkan di Indonesia sendiri– mereka tetap memiliki keyakinan bahwa semua yang ada di dunia ini ada yang menciptakan dan memelihara, yaitu Tuhan. Maka kupikir salah besar jika dikaitkan dengan atheisme. Dari konsep ketuhanan ini kemudian melahirkan falsafah-falsafah hidup dan agama.
Bagi mereka, agama tidak sekadar terikat pada ritual peribadatan atau term tertentu (misal Islam, Kristen, Hindu, dan sebagainya), tetapi lebih kepada bagaimana prinsip-prinsip dari “agama” diterapkan dalam kehidupan. Masyarakat adat ini juga beranggapan bahwa agama berfungsi sebagai “Pituduh laku rahayu”, maksudnya penunjuk pada jalan kebaikan.
Petunjuk tersebut mereka dapatkan dari falsafah-falsafah hidup yang diwariskan secara turun temurun dari leluhur, sehingga sering juga disebut sebagai agama buhun (agama karuhun; agama leluhur). Meskipun saat ini negara resmi mengakui kepercayaan mereka dengan mencantumkan dalam kolom agama pada KTP sebagai penghayat kepercayaan (setelah sebelumnya hanya ditulis tanda strip [-] atau di-termasuk-kan pada “Islam”), masyarakat adat Cireundeu masih berharap diskriminasi terhadap penganut kepercayaan semacam mereka dapat dihapuskan.
Kepercayaan yang paling utama dilandaskan pada tiga ketentuan yang diesbut “Tri Tangtu”, yang isinya “Gusti nu ngasih, alam nu ngasah, urang nu ngasuh”. Maksudnya Gusti (sebagai penyebutan Tuhan) Yang Maha Pengasih telah menciptakan dunia dengan segala isinya. Karena welas asihnya Tuhan, maka alam dan manusia bisa ada.
Masyarakat adat Cireundeu sangat menjunjung dan menghargai alam. Ini juga disimbolkan dengan terpasangnya empat kain dengan empat warna berbeda yang dipasang di langit-langit bale. Warna kain tersebut melambangkan empat elemen alam, yaitu merah berarti api, kuning berarti angin, putih berarti air, dan hitam berarti tanah.
Kain yang terdapat di langit-langit bale; menyimbolkan empat elemen alam. |
Tidak hanya lewat simbol, bukti masyarakat adat tersebut sangat menghormati alam adalah adanya tiga leuweung (hutan) yang sangat dijaga, diantaranya leuweung larangan (hutan larangan) yaitu hutan yang pepohonannya tidak boleh ditebang karena bertujuan sebagai tempat penyimpanan air; leuweung tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang pohonnya dapat ditebang untuk dipergunakan dengan syarat harus ditanami pohon baru; dan leuweung baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang digunakan untuk berkebun atau bercocok tanam.
Ada satu ketentuan di kampung adat Cireundeu yang mengandung makna filosofis yang dalam, yaitu ketika hendak menginjakkan kaki di leuweung (hutan) tersebut diharuskan melepas alas kaki. Hal ini berkaitan dengan keyakinan mereka bahwa kekuatan utama yang diciptakan oleh Tuhan adalah ibu.
Pada maksud ungkapan “alam nu ngasah”, masyarakat adat Cireundeu memandang bahwa manusia bisa ada, tumbuh, dan mengetahui banyak hal karena perantara dua “ibu”, yaitu ibu lahir dan ibu batin. Ibu lahir sudah jelas yaitu ibu yang telah melahirkan dan menyusui manusia, sementara ibu batin berupa alam.
Manusia tercipta dari unsur tanah dan akan kembali ke tanah (dikuburkan). Bagi mereka, tanah memiliki makna yang luhur sehingga lemah cai (tanah air) dimaknai sebagai indung (ibu). Di Indonesia sendiri, tanah air sering dipersonifikasikan sebagai “Ibu Pertiwi”. Oleh sebab itu, larangan menggunakan alas kaki ketika menginjak hutan seakan mengisyaratkan bahwa “bagaimana mungkin kita akan merasa jijik pada ibu sendiri?”.
Selanjutnya, ada kata “urang nu ngasuh” (kita yang mengasuh). Oleh sebab alam telah memberi banyak manfaat bagi manusia, maka sudah seharusnya manusia memelihara alam. Terlebih dahulu manusia harus mengenal alam sehingga dapat menjaga dan memfungsikan alam. Mereka yakin jika alam (hutan) difungsikan sebagaimana fungsinya, maka akan terhindar dari bencana yang disebabkan oleh kelalaian manusia.
0 komentar:
Posting Komentar