Selain tiga ketentuan yang sudah dibahas sebelumnya, masyarakat adat Cireundeu juga memiliki pedonan hidup berupa falsafah-falsafah yang diturunkan dari sesepuh terdahulu. Kita tentunya sering –minimal pernah– mendengar istilah “silih asah, silih asih, silih asuh” yang identik dengan Orang Sunda.
Istilah terkenal itu nampaknya tidak hanya sebagai ungkapan pemanis tetapi benar-benar diterapkan oleh masyarakat adat Cireundeu. Ungkapan tersebut sarat akan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang melahirkan asas persamaan derajat sehingga tidak ada diskriminasi yang disebabkan oleh strata sosial.
Mereka memandang bahwa semua manusia itu sama. Seluruh ras dan bangsa yang ada di dunia hanya dibedakan oleh lima hal: bahasa, aksara, adat, budaya, dan rupa. Dari segi rupa, contohnya, manusia dibedakan berdasarkan warna kulit.
Uniknya, selain menyimbolkan elemen yang ada di alam, empat kain dengan warna berbeda yang dipasang di langit-langit bale juga menggambarkan
warna kulit dari berbagai ras yang ada di dunia.
Orang Indonesia sendiri yang memiliki kulit sawo matang tidak disimbolkan dengan warna sendiri sebab warna kulit orang Indonesia (sunda) merupakan perpaduan dari keempat warna tersebut (merah, kuning, putih, hitam). Tidak heran jika ada istilah “sadulur papat kalima pancer”, dan pancer-nya itu adalah orang Indonesia.
Maka sudah sepantasnya orang Indonesia mensyukuri kodratnya dengan tidak perlu mengubah apa yang sudah dikaruniakan oleh Tuhan. Mereka beranggapan bahwa dengan mengubah warna kulit (memutihkan atau menggelapkan) bahkan mentatonya sama saja dengan merusak kodrat, sebab tidak ada manusia yang bisa memilih ingin seperti apa atau oleh siapa dan dimana dia dilahirkan. Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya tanpa negosiasi dan tawar-menawar.
Semua manusia sama. Baik dari suku, bangsa, ras, atau agama apapun, tentu menyebut garam itu asin dan gula itu manis. Artinya, meskipun rupa, bahasa, aksara, adat, dan budaya berbeda-beda, tetapi manusia memberi respon sama terhadap rasa yang sama. Manusia dengan beragam cara dan cirinya harus tetap memiliki welas asih (kasih sayang), memiliki rasa dan bisa merasakan. Prinsipnya, apa yang ditanam itulah yang dituai. “Melak cabe moal jadi bonteng, melak bonteng moal jadi cabe; melak hade moal jadi goreng, melak goreng moal jadi hade”, maksudnya jika menanam kebaikan yang akan dituai bukanlah keburukan, dan menanam keburukan tidaklah akan menuai kebaikan.
Masyarakat adat Cireundeu juga memegang teguh pepatah “Teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas,teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat” (tidak punya sawah yang penting punya padi, tidak punya padi yang penting punya beras, tidak punya beras yang penting bisa memasak nasi, tidak bisa masak nasi yang penting makan, tidak makan yang penting kuat). Pepatah ini dapat dijumpai di bagian depan bale. Selain memiliki makna untuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun, pepatah ini juga bermakna bahwa masyarakat adat Cireundeu tidak hanya bergantung pada satu hal saja.
Keunikan lain dari kampung adat Cireundeu adalah masyarakatnya tidak memakan nasi yang dimasak dari beras padi. Memakan beras padi tidak diharamkan oleh masyarakat adat Cireundeu. mereka bahkan menjunjung tinggi padi bahkan menerapkan filosofi padi, yang semakin berisi semakin merunduk, yang mensaratkan kerendahhatian, dalam hidup mereka. Kepercayaan mereka tehadap Dewi Sri (Dewi kesuburan) juga disimbolkan dengan padi (termasuk ibu batin).
Sebagai makanan pokok, mereka memakan nasi dari ketela atau singkong. Kebiasaan ini sudah dilakukan turun-temurun sejak tahun 1918 oleh leluhur mereka. Leluhur mereka telah melakukan riset selama enam tahun bertahan hidup hanya memakan singkong, bahkan dikatakan sampai tubuhnya kering, sesepuh terdahulu percaya manfaat dari jerih payah itu kelak akan dirasakan oleh anak cucu keturunan mereka. Terbukti saat ini masyarakat adat Cireundeu dapat bertahan di tengah krisis kelangkaan dan keterbatasan pasokan beras sebagai bahan pangan.
Selain sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur, mempertahankan kebiasaan menjadikan singkong sebagai makanan pokok membuat mereka dapat hidup tentram tanpa khawatir kelaparan akibat krisis tersebut. Bahkan kampung adat Cireundeu bisa dibilang memiliki kemandirian dan ketahanan pangan, di tengah masyarakat Indonesia yang terlalu tergantung pada beras, sementara negara tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya hingga sampai harus mendatangkan produk impor.
***
Sedikit mengungkapkan rasa. Kenyataan tersebut cukup mencubitku; mengingat fakta bahwa Indonesia sebagai negara agraris, yang katanya tanah surga hingga tongkat kayu dan batu jadi tanaman, masih harus mengimpor kebutuhan pokok dari negeri lain. Entah karena kebijakan pemerintah atau kebiasaan makan nasi yang sudah mendarah daging di masyarakat, yang sulit diubah, yang jelas ini cukup miris.
Lanjut...
***
Pemanfaatan tanaman singkong sangat dimaksimalkan. Tidak hanya bagaian umbinya sebagai makanan pokok, daunnya dapat disayur atau dijadikan pakan ternak, batangnya dijadikan bibit, bahkan kulitnya yang berwarna putih dapat dikonsumsi. Bagian kulit singkong yang berwarna putih biasa diolah menjadi dendeng kulit singkong dan makanan kadedemes.
Dalam mengolah singkong menjadi makanan pokok, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: usia panen haruslah pas satu tahun, tidak kurang dan tidak lebih. Singkong yang sudah dikupas kulitnya diparut kemudian ditambahkan air dengan perbandingan satu ember parutan singkong dengan enam ember air lalu diperas untuk menghilangkan kandungan sianidanya, untuk kemudian diendapkan. Hasil endapan tersebut diambil untuk dijemur sekitar dua hari hingga kering kemudian ditumbuk menjadi seperti tepung. Dan jadilah beras singkong atau biasa disebut rasi.
Pengolahan singkong tersebut juga menjadi peluang ekonomi bagi masyarakat adat Cireundeu. Selain rasi (beras singkong), tepung singkong juga dapat diolah menjadi berbagai produk seperti ranggening, opak, simping, tape atau peuyeum, awug, bahkan berbagai kue berbahan dasar singkong. Produk tersebut tidak hanya dikonsumsi masyarakatnya tetapi juga dipasarkan kepada pengunjung sebagai oleh-oleh khas kampung adat Cireundeu. kelebihan hasil produksi tepung singkong atau sering disebut aci juga dijual ke luar kampung.
Selain itu, sumber pendapatan mayarakat adat Cireundeu 80% berasal dari pertanian dan peternakan. Tidak hanya ditanami singkong, perkebunan mereka juga dibuat tumpang sari dengan jangung, kacang-kacangan, dan ubi.
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar