Humaira Habibi. Nama yang indah,
senang mengenalmu. Kau tahu, saat bulan lalu setelah kau memilihku untuk
menjadi sahabatmu, perasaanku menjadi seperti ladang bunga di tengah musim
semi. Kau membawaku ke kamarmu. Terdapat sebuah rak kayu yang tidak terlalu
besar terisi penuh oleh buku-buku dan kitab berkertas kuning. Hingga akhirnya
kau menempatkanku untuk berbaring diatas kasur tipis di samping tempatmu tidur.
***
“Humaira, cepat!!” teriakan seorang
perempuan yang berdiri menunggumu di depan pintu menggema untuk yang kedua
kalinya, menyuruhmu untuk bergegas.
“Iya, sebentar..” balasmu dengan
suara yang mampu memekakan telingaku. Kemudian kau menarikku dengan
tergesa-gesa hingga detik berikutnya kurasakan tubuhku berguncang karena kau
berlari semakin cepat menuju kelas.
Ini bulan ke tiga aku menjadi
sahabatmu. Hal itu membuatku semakin memahami bahasan dalam kitab Alfiyah yang
kini diterangkan oleh Ustadzah Zahra; yang sebelumnya sama sekali tidak
kumengerti. Sebuah kitab berjumlah seribu bait karangan ulama fenomenal, Syaikh
Ibnu Malik yang isinya mengkaji tentang gramatika bahasa Arab.
“Dalam pembahasan I’rob, secara
bahasa I’rob memiliki makna yang beragam, diantaranya adalah upaya untuk
memberikan kejelasan dan upaya untuk mengungkapkan sebuah perasaan. Sedang
secara istilah dikatakan sebagai perubahan yang terjadi pada kalimat karena
berbagai faktor yang melatar-belakangi dan menjadi penyebab perubahan tersebut,
baik secara tampak ataupun tidak.” Ustadzah Zahra memulai pelajaran hari ini.
“Dalam Ilmu Nahwu dijelaskan bahwa
I’rob terbagi empat, yaitu I’rob Rofa yang ditandai dengan dhomah, I’rob Nasob
yang ditandai dengan Fathah, I’rob Jar/Khofad yang ditandai dengan kasroh, dan
I’rob Jazm yang ditandai dengan sukun,” lanjutnya.
Goresan tintamu mulai menari-nari
menoreh sebuah tulisan sesuai dengan apa yang diterangkan oleh wanita yang
tengah mengenakan jilbab lebar berwarna biru tersebut. Oh, aku merasa tubuhku
seperti digelitiki hingga akhirnya lonceng utama berbunyi pertanda pelajaran
telah berakhir.
Kemanapun kau pergi, kau selalu
menyertakanku untuk menemanimu. Seperti siang ini, kau duduk manis di teras
Madrasah –sebuah tempat serbaguna yang jaraknya tidak terlalu jauh dari asrama
putri.
Tangan mungilmu membolak-balik setiap
halaman dengan mulut yang berkomat-kamit mengulang materi yang tertulis. Kau
sungguh gadis yang rajin, meski kadang nilai yang kau dapatkan tidak sesuai
dengan harapan, kau tidak pernah putus asa dan malah semakin giat mempelajari
pelajaran dalam kitab seribu bait tersebut. Terkadang angin yang berhembus
menyapamu seolah meninabobokan sampai kau tertidur dan bembiarkanku begitu
saja.
***
Sudah dua hari aku menemanimu yang
tergeletak tak berdaya diatas kasur tipis ini dengan raut wajah yang
menyiratkan rasa sakit yang teramat dalam.
Selama menjadi sahabatmu, aku
mememahami rasa sakit yang kau rasakan. Tidak jarang kau menceritakan
kesedihanmu seolah aku menjadi bahu yang selalu ada saat kau butuh sebuah
penyangga. Seperti dua hari yang lalu sebelum kau jatuh sakit.
“Seperti apakah kelak aku akan
dikenang? Apakah seperti Maryam yang diingat karena ketaatannya dengan menjaga
kesucian? Atau seperti Khadijah yang begitu dermawannya hingga mengikhlaskan
seluruh hartanya demi urusan dakwah Rasulullah? Atau juga Fatimah yang dengan
sabar menjaga hatinya untuk Ali?” aku merasa ada yang berbeda dengan kisahmu
waktu itu.
“Aku tidak setaat Maryam, aku tidak
memiliki harta sebanyak Khadijah untuk disedekahkan, aku juga tidak setabah
Fatimah. Tapi aku juga ingin seperti mereka yang tetap diingat setelah
tiada...” aku semakin tak mengerti arah pembicaraanmu. Kenapa seolah-olah kau
akan meninggalkanku dalam waktu dekat?
Lamunanku terhenti kala melihatmu
bangkit dari tidurmu kemudian menghampiriku yang tengah duduk manis di samping
rak kayu. Tangan panasmu memelukku. Oh, panas sekali tubuhmu. Nafasmu juga
pendek-pendek layaknya orang yang habis lari maraton.
Kau mulai membuka setiap halaman.
Mulutmu terus mengulang mantra ajaib tentang I’rob, Fi’il Fa’il, dan
sebagainya. Sudah berjam-jam kau melakukan itu meski sesekali kau tersendat
karena keadaan tubuhmu.
“Bruk!”
Aku merasa tubuhku seperti tertarik
hingga terhempas menindih sesuatu. Tapi bukan itu yang menjadi kekhawatiranku.
Kulihat kau tak sadarkan diri dibawahku dengan tangan yang masih merangkulku.
Aku panik. Tapi apa yang bisa kulakukan?
Pada akhirnya aku hanya menatapmu
sendu. Terkurung dalam wujudku sebagai sebuah molekul padat yang ditumpuk
berlapis-lapis dinamakan buku, hingga kau memberiku sebuah nama “Catatan Alfiyah”.
Sebuah buku catatan bersampul merah.
***
“Humaira
Habibi, mengidap kanker darah stadium tiga”
Itu kalimat yang kubaca pada
selembar kertas yang tadi pagi dibawa oleh kepala asrama putri setelah kembali
dari rumah sakit.
Sudah tiga hari ini aku tergeletak
di atas meja belajarmu. Termakan debu dan menggigil. Aku merasa benci pada
diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa untukmu.
“Ayo, Humaira, kau harus bertahan,
aku tahu kau gadis yang kuat!” teriakku penuh emosi. Tapi sayangnya teriakan
itu hanya harapan belaka. Tersimpan dibenakku dan terlupakan.
Aku begitu merindukanmu.. lebih
tepatnya, aku takut kau meninggalkanku...
***
Sebulan berlalu begitu cepat.
Angin menyapaku. Ia datang dengan
bercucuran airmata. Aku mencoba bangkit dari tidur panjangku di meja belajar.
“Ada apa?” lirihku dengan
terbatuk-batuk karena debu yang menyelimuti tubuhku.
“Humaira..” kalimatnya terhenti, dia menatapku sendu. “
Humaira... meninggal”
DEG
Tubuhku terpaku seperti terkena efek
Medusa dalam mitologi Yunani. Mendadak seperti ribuan beton yang beratnya luar
biasa menimpa tubuhku.
Tak terasa airmata yang telah
menggenang mulai membanjiri material tubuhku. Aku teringat pelajaran yang
pernah kau tulis dalam lembaranku:
Dalam kajian Nahwu, ketika ingin
menentukan status I’rob dari sebuah lafadz, maka yang harus dikaji terlebih
dahulu adalah status dari lafadz itu sendiri, Isim, Fi’il, atau Haraf beserta
segala perangkat lainnya yang tentunya membutuhkan sebuah proses panjang.
Seperti halnya dalam kehidupan, apapun yang diinginkan harus melalui proses
demi meraih cita-cita.
Mereka –lafadz dan kehidupan,
mengalami perubahan seperti harakat dhomah (Rofa’) dan fathah (Nashob) yang
berada diatas, terkadang bisa dibawah seperti harakat kasroh (Khofadz), dan
ending dari semuanya adalah sebuah kematian (sukun) yang merupakan sebuah
keharusan (jazm).
0 komentar:
Posting Komentar