Sabtu, 22 November 2014

Cerpen | Catatan Alfiyah Bersampul Merah

Humaira Habibi. Nama yang indah, senang mengenalmu. Kau tahu, saat bulan lalu setelah kau memilihku untuk menjadi sahabatmu, perasaanku menjadi seperti ladang bunga di tengah musim semi. Kau membawaku ke kamarmu. Terdapat sebuah rak kayu yang tidak terlalu besar terisi penuh oleh buku-buku dan kitab berkertas kuning. Hingga akhirnya kau menempatkanku untuk berbaring diatas kasur tipis di samping tempatmu tidur.
***
“Humaira, cepat!!” teriakan seorang perempuan yang berdiri menunggumu di depan pintu menggema untuk yang kedua kalinya, menyuruhmu untuk bergegas.
“Iya, sebentar..” balasmu dengan suara yang mampu memekakan telingaku. Kemudian kau menarikku dengan tergesa-gesa hingga detik berikutnya kurasakan tubuhku berguncang karena kau berlari semakin cepat menuju kelas.

Ini bulan ke tiga aku menjadi sahabatmu. Hal itu membuatku semakin memahami bahasan dalam kitab Alfiyah yang kini diterangkan oleh Ustadzah Zahra; yang sebelumnya sama sekali tidak kumengerti. Sebuah kitab berjumlah seribu bait karangan ulama fenomenal, Syaikh Ibnu Malik yang isinya mengkaji tentang gramatika bahasa Arab.
“Dalam pembahasan I’rob, secara bahasa I’rob memiliki makna yang beragam, diantaranya adalah upaya untuk memberikan kejelasan dan upaya untuk mengungkapkan sebuah perasaan. Sedang secara istilah dikatakan sebagai perubahan yang terjadi pada kalimat karena berbagai faktor yang melatar-belakangi dan menjadi penyebab perubahan tersebut, baik secara tampak ataupun tidak.” Ustadzah Zahra memulai pelajaran hari ini.
“Dalam Ilmu Nahwu dijelaskan bahwa I’rob terbagi empat, yaitu I’rob Rofa yang ditandai dengan dhomah, I’rob Nasob yang ditandai dengan Fathah, I’rob Jar/Khofad yang ditandai dengan kasroh, dan I’rob Jazm yang ditandai dengan sukun,” lanjutnya.
Goresan tintamu mulai menari-nari menoreh sebuah tulisan sesuai dengan apa yang diterangkan oleh wanita yang tengah mengenakan jilbab lebar berwarna biru tersebut. Oh, aku merasa tubuhku seperti digelitiki hingga akhirnya lonceng utama berbunyi pertanda pelajaran telah berakhir.
Kemanapun kau pergi, kau selalu menyertakanku untuk menemanimu. Seperti siang ini, kau duduk manis di teras Madrasah –sebuah tempat serbaguna yang jaraknya tidak terlalu jauh dari asrama putri.
Tangan mungilmu membolak-balik setiap halaman dengan mulut yang berkomat-kamit mengulang materi yang tertulis. Kau sungguh gadis yang rajin, meski kadang nilai yang kau dapatkan tidak sesuai dengan harapan, kau tidak pernah putus asa dan malah semakin giat mempelajari pelajaran dalam kitab seribu bait tersebut. Terkadang angin yang berhembus menyapamu seolah meninabobokan sampai kau tertidur dan bembiarkanku begitu saja.
***
Sudah dua hari aku menemanimu yang tergeletak tak berdaya diatas kasur tipis ini dengan raut wajah yang menyiratkan rasa sakit yang teramat dalam.
Selama menjadi sahabatmu, aku mememahami rasa sakit yang kau rasakan. Tidak jarang kau menceritakan kesedihanmu seolah aku menjadi bahu yang selalu ada saat kau butuh sebuah penyangga. Seperti dua hari yang lalu sebelum kau jatuh sakit.
“Seperti apakah kelak aku akan dikenang? Apakah seperti Maryam yang diingat karena ketaatannya dengan menjaga kesucian? Atau seperti Khadijah yang begitu dermawannya hingga mengikhlaskan seluruh hartanya demi urusan dakwah Rasulullah? Atau juga Fatimah yang dengan sabar menjaga hatinya untuk Ali?” aku merasa ada yang berbeda dengan kisahmu waktu itu.
“Aku tidak setaat Maryam, aku tidak memiliki harta sebanyak Khadijah untuk disedekahkan, aku juga tidak setabah Fatimah. Tapi aku juga ingin seperti mereka yang tetap diingat setelah tiada...” aku semakin tak mengerti arah pembicaraanmu. Kenapa seolah-olah kau akan meninggalkanku dalam waktu dekat?

Lamunanku terhenti kala melihatmu bangkit dari tidurmu kemudian menghampiriku yang tengah duduk manis di samping rak kayu. Tangan panasmu memelukku. Oh, panas sekali tubuhmu. Nafasmu juga pendek-pendek layaknya orang yang habis lari maraton.
Kau mulai membuka setiap halaman. Mulutmu terus mengulang mantra ajaib tentang I’rob, Fi’il Fa’il, dan sebagainya. Sudah berjam-jam kau melakukan itu meski sesekali kau tersendat karena keadaan tubuhmu.
“Bruk!”
Aku merasa tubuhku seperti tertarik hingga terhempas menindih sesuatu. Tapi bukan itu yang menjadi kekhawatiranku. Kulihat kau tak sadarkan diri dibawahku dengan tangan yang masih merangkulku. Aku panik. Tapi apa yang bisa kulakukan?
Pada akhirnya aku hanya menatapmu sendu. Terkurung dalam wujudku sebagai sebuah molekul padat yang ditumpuk berlapis-lapis dinamakan buku, hingga kau memberiku sebuah nama “Catatan Alfiyah”. Sebuah buku catatan bersampul merah.
***
“Humaira Habibi, mengidap kanker darah stadium tiga”
Itu kalimat yang kubaca pada selembar kertas yang tadi pagi dibawa oleh kepala asrama putri setelah kembali dari rumah sakit.
Sudah tiga hari ini aku tergeletak di atas meja belajarmu. Termakan debu dan menggigil. Aku merasa benci pada diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa untukmu.
“Ayo, Humaira, kau harus bertahan, aku tahu kau gadis yang kuat!” teriakku penuh emosi. Tapi sayangnya teriakan itu hanya harapan belaka. Tersimpan dibenakku dan terlupakan.
Aku begitu merindukanmu.. lebih tepatnya, aku takut kau meninggalkanku...
***
Sebulan berlalu begitu cepat.
Angin menyapaku. Ia datang dengan bercucuran airmata. Aku mencoba bangkit dari tidur panjangku di meja belajar.
“Ada apa?” lirihku dengan terbatuk-batuk karena debu yang menyelimuti tubuhku.
“Humaira..”  kalimatnya terhenti, dia menatapku sendu. “ Humaira... meninggal”
DEG
Tubuhku terpaku seperti terkena efek Medusa dalam mitologi Yunani. Mendadak seperti ribuan beton yang beratnya luar biasa menimpa tubuhku.
Tak terasa airmata yang telah menggenang mulai membanjiri material tubuhku. Aku teringat pelajaran yang pernah kau tulis dalam lembaranku:
Dalam kajian Nahwu, ketika ingin menentukan status I’rob dari sebuah lafadz, maka yang harus dikaji terlebih dahulu adalah status dari lafadz itu sendiri, Isim, Fi’il, atau Haraf beserta segala perangkat lainnya yang tentunya membutuhkan sebuah proses panjang. Seperti halnya dalam kehidupan, apapun yang diinginkan harus melalui proses demi meraih cita-cita.
Mereka –lafadz dan kehidupan, mengalami perubahan seperti harakat dhomah (Rofa’) dan fathah (Nashob) yang berada diatas, terkadang bisa dibawah seperti harakat kasroh (Khofadz), dan ending dari semuanya adalah sebuah kematian (sukun) yang merupakan sebuah keharusan (jazm).

0 komentar:

Posting Komentar