Aku terpaku menatap
pemandangan di luar. Kulihat seorang anak yang kira-kira berusia lima
tahun tengah berlari dengan riang di bawah rintik hujan, melompat di
setiap genangan air yang terdapat pada cekungan rerumputan. Aku bisa
melihat betapa bahagianya anak itu.
“Kak Sinta, ayo sini! Kita hujan-hujanan. Asik, Kak!”
Seorang gadis yang mengenakan jas hujan dengan menenteng sebuah payung kecil menghampiri anak itu.
“Jangan hujan-hujanan, Risya. Nanti kamu sakit. Ayo kita masuk, nanti dicariin ibu.” Sang Gadis manggandeng tangan anak yang bernama Risya itu, membawanya masuk ke rumah mereka sambil memayunginya.
Hujan bertambah deras sedangkan aku sama sekali tidak berniat mengubah posisiku yang masih enggan untuk meninggalkan matahari yang semakin tenggelam di ufuk barat.
Keadaan halaman mulai gelap dan udara dingin terasa begitu menusuk meski hujan telah berhenti sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku beranjak dari tempatku duduk, berjalan menuju dapur dengan niat mengambil secangkir cokelat hangat untuk sekedar menghangatkan tubuh.
Ketika melewati ruang keluarga, aku kembali terpaku menyaksikan anak tadi tengah asik menikmati cokelat hangat ditemani kakaknya yang sedang menonton acara televisi yang menayangkan kartun barbie berambut panjang, sementara seorang ibu terlihat tengah sibuk menyiapkan makan malam di meja makan.
“Ayah pulang,” seru seseorang dari arah pintu masuk.
Kedua anak itu serentak berhamburan menuju pintu, menghampiri seorang pria dengan setelan jas kantoran sambil menenteng sebuah tas. wajahnya menyiratkan kelelahan. Namun begitu, dia berusaha menyembunyikan rasa lelahnya dengan tersenyum dihadapan anak-anaknya. Ibu tadi juga ikut menyambut kedatangan sang suami dengan mengambil alih tas dan jasnya.
“Sebentar, ya. Ibu siapkan air hangatnya dulu untuk mandi ayah.” Lelaki itu mangangguk sambil tersenyum lalu menggandeng dua anaknya menuju ruang keluarga.
Tanpa sadar, mataku mulai memburam terhalangi oleh sesuatu yang menggenang di kelopak mataku. Aku tersenyum pahit ketika merasakan buliran air membasahi pipiku saat menyaksikan pemandangan yang begitu membuatku iri. Sepertinya lebih baik aku kembali ke kamar lalu tidur sebelum wajahku semakin basah oleh airmata.
***
Semua begitu mengusik kehidupanku
Mebuatku tak tenang saat harus tidur dengan mimpi yang sama
Kemudian bangun dengan rasa takut yang mencekam
Tin tin!!
Aku mendengar suara klakson yang terus menerus menggema di jalanan. Sedetik kemudian raut wajah seorang gadis berusia belasan yang tadinya ceria seketika berubah. Dia melotot menatap ke arah jalan raya dengan reaksi waspada.
“Kak Sinta awas!!” dia berteriak sambil mengulurkan tangannya. Hanya sepersekian detik ketika akhirnya perempuan yang terlihat menggenggam sebuah gelang berwana biru safir itu menoleh mendapati sedan hitam melaju kencang ke arahnya seperti kehilangan kendali.
Sayangnya gadis itu tak punya waktu untuk menghindar ketika akhirnya tubuhnya terpental akibat berbenturan dengan benda keras.
“KAK SINTA!!!”
***
“Akh!!” Aku terbangun dan mendapati mataku basah. Kulirik jam di nakas samping tempat tidurku yang menunjukkan angka 02.48 WIB. Masih terlalu dini bagiku untuk memulai aktivitas, hanya saja mimpi itu lagi-lagi datang mengusik tidur nyenyakku.
“Ada apa, Non. Apa Non mimpi buruk lagi?” pintu kamarku terbuka. Kulihat Bi Ina tampak terkejut lalu tertatih-tatih menghampiri ranjangku. Tangannya terulur mendekap tubuhku sambil mengusap punggunggku berusaha menenangkan.
Aku terisak dalam pelukannya. Pelukan dari wanita paruh baya yang telah menganggapku seperti anaknya sendiri ini selalu ampuh membuatku merasa lebih tenang. Meski begitu, aku selalu berharap jika tangan yang memberi ketenangan itu adalah tangan ibuku sendiri. Tapi apa boleh buat, dia selalu disibukkan oleh tugas yang diberikan atasannya. Juga ayah yang juga selalu menyibukkan diri dengan alasan dinasnya. Mereka berdua semakin sibuk setelah kejadian mengerikan empat tahun lalu.
“Akan bibi buatkan susu coklat untuk Non,” katanya hendak beranjak dari kasur. Buru-buru aku menarik lengannya sambil memberikan tatapan mengiba. Seakan sudah paham arti tatapanku, dia tersenyum dan membaringkan tubuhnya di sampingku sambil membelai rambutku seperti sedang menina-bobokan.
***
Matahari bersinar cerah. Kicauan burung juga menambah kesan pagi yang indah hari ini. Aku melangkah menuju ruang makan sambil menenteng tas sekolahku. Langkahku terhenti tatkala melihat anak yang kemarin sore kulihat di halaman rumah, hanya saja anak itu sedikit lebih tinggi dari yang kemarin kulihat.
“Kak Sinta, ayo kita makan. Aku sudah lapar.” Kakaknya tersenyum manis lalu mendudukkan tubuhnya di samping anak itu.
“Kebiasaan, ya Risya. Selalu menyisihkan bawang gorengnya ke piring kakak. Memangnya piring kakak ini tempat pembuangan!” Anak itu tersenyum lebar memamerkan giginya ketika mendengar keluhan sang kakak.
“Sudah, jangan ribut. Besok ibu buatkan khusus untuk Risya tanpa bawang goreng. Nah, sekarang ayo kita makan!” Seru sang ibu sambil mengambilkan nasi untuk suaminya.
“Non, kok malah melamun, sih. Bibi sudah buatkan nasi goreng tanpa bawang goreng untuk Non. Ayo dimakan, nanti keburu dingin.” Seruan Bi Ina seolah menyadarkanku. Membawaku kembali ke alam nyata. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk lalu melangkah menuju meja makan.
Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Sepi. Selalu seperti ini. Tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa kakak.
‘Oh, Risya, aku begitu iri padamu. Andai saja aku memiliki apa yang kamu miliki. Andai saja dia masih ada disini, tentu aku tidak akan merasa kesepian seperti ini,’ gumamku sambil menatap sepiring nasi goreng spesial ala Bi Ina yang ada dihadapanku ini.
Sialnya, kenapa selalu ‘andai’ yang berkuasa? Sudahlah, lebih baik aku habiskan makananku lalu pergi ke sekolah, daripada terus melawan andai yang bisa merusak pagi indahku ini, lagipula itu hanya hal yang sia-sia dan tidak berguna.
***
“Assalamu`alaikum!”
“Wa`alaikumsalam. Non kemana saja? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya Bi Ina memberondong dengan raut kekhawatiran di wajahnya.
“Iya, Bi. Tadi habis ngerjain tugas kelompok dulu.”
“Oh, begitu. Tunggu sebentar, bibi akan siapkan makan malam untuk Non dulu,” ucapnya sambil beranjak menuju dapur.
“Tidak usah, Bi. Tadi sudah makan, kok, di rumah teman. Apa ayah–” ucapanku terhenti ketika menyadari sesuatu. Oke, aku bukan lagi anak sekolah dasar yang akan bertanya pada Bi Ina saat ayah dan ibu belum pulang atau tidak berada di rumah.
“Ada apa Non?”
“Tidak apa-apa, Bi. aku yakin Bibi lelah, begitu juga aku. Jadi Bibi tidur saja. Aku juga akan melakukan hal yang sama.” Aku berlalu dari hadapannya untuk menuju kamar.
***
Aku percaya takdir
Mungkin skenario seorang sutradara adalah hal pasti dalam sebuah pertunjukan
Tapi jika takdir tidak mengizinkan skenario itu berlaku, maka pertunjukan tidak akan berjalan sesuai skenario yang telah dibuat
Takdir selalu menang atas segalanya
Aku juga ingin menulis skenarioku sendiri
Setiap hal pasti memiliki kekurangan dan kelebihan
Mungkin kelebihan skenarioku adalah aku membuatnya seindah mungkin tanpa ada penderitaan
Tapi tetap saja dia memiliki kekurangan
Dua kekurangan mutlak
Tidak bisa melawan takdir dan tidak bisa memaksa untuk dijadikan takdir
“Seperti yang sudah direncanakan kemarin, sekarang kita akan menjenguk Sani di rumah sakit. Saya tidak memaksakan jika memang ada yang berhalangan ikut. Tapi saya minta partisipasi dari yang bisa ikut.” Pengumuman dari ketua kelas sontak menghentikan kegiatanku yang tengah membereskan peralatan sekolah.
Rumah sakit. Tiap kali mendengar tempat itu, tubuhku serasa melemas seakan semua tulangku meluruh. Sejak kejadian itu, aku selalu berharap untuk tidak lagi datang ke ‘rumah’ yang menampung banyak orang sakit itu. Aku benci ketika dihadapkan dengan keadaan yang mengharuskanku mengunjungi tempat tersebut. Tapi mau sampai kapan aku akan phobia terhadap tempat itu? Mau tidak mau aku harus ikut dan melawan ketakutanku sendiri.
***
Di ruangan bernuansa serba putih berukuran kurang lebih lima kali enam meter ini aku hanya duduk melihat teman-temanku yang lain bergantian menyapa Sani. Karena merasa sedikit mengantuk, aku meminta izin untuk pergi ke kamar mandi yang ada di ruangan ini untuk sekedar membasuh wajah.
Selesai membasuh wajah, aku dikejutkan oleh bayangan kejadian yang membuat tubuhku menegang ketika membuka pintu kamar mandi dan hendak melangkah keluar.
“KAK SINTA! BANGUN!!” Seorang gadis berteriak histeris sambil mengguncangkan tubuh yang tergolek lemas diatas ranjang rumah sakit.
“Kak Sinta bangun! Ini sungguh tidak lucu!!” Gadis itu masih saja mengguncangkan tubuh kakaknya, berharap sang kakak akan bangun lalu tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjai adiknya.
“JANGAN TINGGALKAN RISYA, KAK! JANGAN PERGI!!” Gadis itu semakin histeris hingga ibunya yang sejak tadi terisak hebat dengan airmata yang bercucuran mendekapnya erat, sementara sang ayah terduduk lemas dengan pandangan kosong dan aliran sungai yang mengalir melewati kedua pipinya, menangis tanpa suara.
“Bu, Kak Sinta jahat. Kenapa Kak Sinta ninggalin Risya, bu?” suaranya terdengar kian melemah.
***
“Hey, kamu kenapa?” tepukan Rina di pundakku seolah menyadarkanku.
“Kamu tidak apa-apa, kan? Tangan kamu dingin. Kamu juga pucat sekali.” Rina menggenggam tanganku yang memang terasa sangat dingin.
“T-tidak. A-aku baik-baik saja. Mungkin aku sedikit lelah,” ujarku setenang mungkin.
“Ya sudah, lebih baik kamu istirahat saja di rumah,” bujuk Rina padaku.
“Ah, i-iya. Kalau begitu aku pamit pulang duluan. Maaf, ya, Sani, aku tidak bisa sampai selesai. Semoga cepat sembuh, ya,” ucapku dengan tergesa.
“Iya, tidak apa-apa. Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk menjengukku.” Aku tersenyum dengan cepat bergegas pergi dari tempat menakutkan ini.
***
Minggu pagi ini begitu cerah. Di hadapanku terdapat sebuah gundukan tanah dengan nisan yang terbuat dari batu marmer tertancap di bagian atasnya bertuliskan ‘Yasinta Ahadina Putri’. Nama seseorang yang selalu hadir di setiap mimpi indah sekaligus mimpi burukku selama empat tahun terakhir. Aku tak kuasa membendung perasaanku yang begitu menyesakkan hingga kurasakan tangan Bi Ina merangkul bahuku dengan hangat.
“Bi, sudah tahun keempat aku menjalani hidup tanpanya. Aku sangat merundukannya. Aku merindukan kebahagiaanku yang dulu. Aku rindu senyuman hangat ayah untukku. Aku rindu masakan ibu. Andai saat itu aku tidak merengek meminta Kak Sinta membelikanku gelang di sebrang jalan itu, mungkin semua tidak akan seperti ini.” Bi Ina mulai terisak mendengar ocehanku itu dan semakin mengeratkan pelukkannya.
“Non Risya yang sabar, ya, Non. Tidak baik berandai-andai terus seperti itu. Lebih baik kita doakan agar Non Sinta tenang disana,” lirih Bi Ina menguatkan.
“Kak Sinta, Risya sangat merindukan kakak. Apa kakak juga merindukan Risya?”
~END~
“Kak Sinta, ayo sini! Kita hujan-hujanan. Asik, Kak!”
Seorang gadis yang mengenakan jas hujan dengan menenteng sebuah payung kecil menghampiri anak itu.
“Jangan hujan-hujanan, Risya. Nanti kamu sakit. Ayo kita masuk, nanti dicariin ibu.” Sang Gadis manggandeng tangan anak yang bernama Risya itu, membawanya masuk ke rumah mereka sambil memayunginya.
Hujan bertambah deras sedangkan aku sama sekali tidak berniat mengubah posisiku yang masih enggan untuk meninggalkan matahari yang semakin tenggelam di ufuk barat.
Keadaan halaman mulai gelap dan udara dingin terasa begitu menusuk meski hujan telah berhenti sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku beranjak dari tempatku duduk, berjalan menuju dapur dengan niat mengambil secangkir cokelat hangat untuk sekedar menghangatkan tubuh.
Ketika melewati ruang keluarga, aku kembali terpaku menyaksikan anak tadi tengah asik menikmati cokelat hangat ditemani kakaknya yang sedang menonton acara televisi yang menayangkan kartun barbie berambut panjang, sementara seorang ibu terlihat tengah sibuk menyiapkan makan malam di meja makan.
“Ayah pulang,” seru seseorang dari arah pintu masuk.
Kedua anak itu serentak berhamburan menuju pintu, menghampiri seorang pria dengan setelan jas kantoran sambil menenteng sebuah tas. wajahnya menyiratkan kelelahan. Namun begitu, dia berusaha menyembunyikan rasa lelahnya dengan tersenyum dihadapan anak-anaknya. Ibu tadi juga ikut menyambut kedatangan sang suami dengan mengambil alih tas dan jasnya.
“Sebentar, ya. Ibu siapkan air hangatnya dulu untuk mandi ayah.” Lelaki itu mangangguk sambil tersenyum lalu menggandeng dua anaknya menuju ruang keluarga.
Tanpa sadar, mataku mulai memburam terhalangi oleh sesuatu yang menggenang di kelopak mataku. Aku tersenyum pahit ketika merasakan buliran air membasahi pipiku saat menyaksikan pemandangan yang begitu membuatku iri. Sepertinya lebih baik aku kembali ke kamar lalu tidur sebelum wajahku semakin basah oleh airmata.
***
Semua begitu mengusik kehidupanku
Mebuatku tak tenang saat harus tidur dengan mimpi yang sama
Kemudian bangun dengan rasa takut yang mencekam
Tin tin!!
Aku mendengar suara klakson yang terus menerus menggema di jalanan. Sedetik kemudian raut wajah seorang gadis berusia belasan yang tadinya ceria seketika berubah. Dia melotot menatap ke arah jalan raya dengan reaksi waspada.
“Kak Sinta awas!!” dia berteriak sambil mengulurkan tangannya. Hanya sepersekian detik ketika akhirnya perempuan yang terlihat menggenggam sebuah gelang berwana biru safir itu menoleh mendapati sedan hitam melaju kencang ke arahnya seperti kehilangan kendali.
Sayangnya gadis itu tak punya waktu untuk menghindar ketika akhirnya tubuhnya terpental akibat berbenturan dengan benda keras.
“KAK SINTA!!!”
***
“Akh!!” Aku terbangun dan mendapati mataku basah. Kulirik jam di nakas samping tempat tidurku yang menunjukkan angka 02.48 WIB. Masih terlalu dini bagiku untuk memulai aktivitas, hanya saja mimpi itu lagi-lagi datang mengusik tidur nyenyakku.
“Ada apa, Non. Apa Non mimpi buruk lagi?” pintu kamarku terbuka. Kulihat Bi Ina tampak terkejut lalu tertatih-tatih menghampiri ranjangku. Tangannya terulur mendekap tubuhku sambil mengusap punggunggku berusaha menenangkan.
Aku terisak dalam pelukannya. Pelukan dari wanita paruh baya yang telah menganggapku seperti anaknya sendiri ini selalu ampuh membuatku merasa lebih tenang. Meski begitu, aku selalu berharap jika tangan yang memberi ketenangan itu adalah tangan ibuku sendiri. Tapi apa boleh buat, dia selalu disibukkan oleh tugas yang diberikan atasannya. Juga ayah yang juga selalu menyibukkan diri dengan alasan dinasnya. Mereka berdua semakin sibuk setelah kejadian mengerikan empat tahun lalu.
“Akan bibi buatkan susu coklat untuk Non,” katanya hendak beranjak dari kasur. Buru-buru aku menarik lengannya sambil memberikan tatapan mengiba. Seakan sudah paham arti tatapanku, dia tersenyum dan membaringkan tubuhnya di sampingku sambil membelai rambutku seperti sedang menina-bobokan.
***
Matahari bersinar cerah. Kicauan burung juga menambah kesan pagi yang indah hari ini. Aku melangkah menuju ruang makan sambil menenteng tas sekolahku. Langkahku terhenti tatkala melihat anak yang kemarin sore kulihat di halaman rumah, hanya saja anak itu sedikit lebih tinggi dari yang kemarin kulihat.
“Kak Sinta, ayo kita makan. Aku sudah lapar.” Kakaknya tersenyum manis lalu mendudukkan tubuhnya di samping anak itu.
“Kebiasaan, ya Risya. Selalu menyisihkan bawang gorengnya ke piring kakak. Memangnya piring kakak ini tempat pembuangan!” Anak itu tersenyum lebar memamerkan giginya ketika mendengar keluhan sang kakak.
“Sudah, jangan ribut. Besok ibu buatkan khusus untuk Risya tanpa bawang goreng. Nah, sekarang ayo kita makan!” Seru sang ibu sambil mengambilkan nasi untuk suaminya.
“Non, kok malah melamun, sih. Bibi sudah buatkan nasi goreng tanpa bawang goreng untuk Non. Ayo dimakan, nanti keburu dingin.” Seruan Bi Ina seolah menyadarkanku. Membawaku kembali ke alam nyata. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk lalu melangkah menuju meja makan.
Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Sepi. Selalu seperti ini. Tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa kakak.
‘Oh, Risya, aku begitu iri padamu. Andai saja aku memiliki apa yang kamu miliki. Andai saja dia masih ada disini, tentu aku tidak akan merasa kesepian seperti ini,’ gumamku sambil menatap sepiring nasi goreng spesial ala Bi Ina yang ada dihadapanku ini.
Sialnya, kenapa selalu ‘andai’ yang berkuasa? Sudahlah, lebih baik aku habiskan makananku lalu pergi ke sekolah, daripada terus melawan andai yang bisa merusak pagi indahku ini, lagipula itu hanya hal yang sia-sia dan tidak berguna.
***
“Assalamu`alaikum!”
“Wa`alaikumsalam. Non kemana saja? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya Bi Ina memberondong dengan raut kekhawatiran di wajahnya.
“Iya, Bi. Tadi habis ngerjain tugas kelompok dulu.”
“Oh, begitu. Tunggu sebentar, bibi akan siapkan makan malam untuk Non dulu,” ucapnya sambil beranjak menuju dapur.
“Tidak usah, Bi. Tadi sudah makan, kok, di rumah teman. Apa ayah–” ucapanku terhenti ketika menyadari sesuatu. Oke, aku bukan lagi anak sekolah dasar yang akan bertanya pada Bi Ina saat ayah dan ibu belum pulang atau tidak berada di rumah.
“Ada apa Non?”
“Tidak apa-apa, Bi. aku yakin Bibi lelah, begitu juga aku. Jadi Bibi tidur saja. Aku juga akan melakukan hal yang sama.” Aku berlalu dari hadapannya untuk menuju kamar.
***
Aku percaya takdir
Mungkin skenario seorang sutradara adalah hal pasti dalam sebuah pertunjukan
Tapi jika takdir tidak mengizinkan skenario itu berlaku, maka pertunjukan tidak akan berjalan sesuai skenario yang telah dibuat
Takdir selalu menang atas segalanya
Aku juga ingin menulis skenarioku sendiri
Setiap hal pasti memiliki kekurangan dan kelebihan
Mungkin kelebihan skenarioku adalah aku membuatnya seindah mungkin tanpa ada penderitaan
Tapi tetap saja dia memiliki kekurangan
Dua kekurangan mutlak
Tidak bisa melawan takdir dan tidak bisa memaksa untuk dijadikan takdir
“Seperti yang sudah direncanakan kemarin, sekarang kita akan menjenguk Sani di rumah sakit. Saya tidak memaksakan jika memang ada yang berhalangan ikut. Tapi saya minta partisipasi dari yang bisa ikut.” Pengumuman dari ketua kelas sontak menghentikan kegiatanku yang tengah membereskan peralatan sekolah.
Rumah sakit. Tiap kali mendengar tempat itu, tubuhku serasa melemas seakan semua tulangku meluruh. Sejak kejadian itu, aku selalu berharap untuk tidak lagi datang ke ‘rumah’ yang menampung banyak orang sakit itu. Aku benci ketika dihadapkan dengan keadaan yang mengharuskanku mengunjungi tempat tersebut. Tapi mau sampai kapan aku akan phobia terhadap tempat itu? Mau tidak mau aku harus ikut dan melawan ketakutanku sendiri.
***
Di ruangan bernuansa serba putih berukuran kurang lebih lima kali enam meter ini aku hanya duduk melihat teman-temanku yang lain bergantian menyapa Sani. Karena merasa sedikit mengantuk, aku meminta izin untuk pergi ke kamar mandi yang ada di ruangan ini untuk sekedar membasuh wajah.
Selesai membasuh wajah, aku dikejutkan oleh bayangan kejadian yang membuat tubuhku menegang ketika membuka pintu kamar mandi dan hendak melangkah keluar.
“KAK SINTA! BANGUN!!” Seorang gadis berteriak histeris sambil mengguncangkan tubuh yang tergolek lemas diatas ranjang rumah sakit.
“Kak Sinta bangun! Ini sungguh tidak lucu!!” Gadis itu masih saja mengguncangkan tubuh kakaknya, berharap sang kakak akan bangun lalu tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjai adiknya.
“JANGAN TINGGALKAN RISYA, KAK! JANGAN PERGI!!” Gadis itu semakin histeris hingga ibunya yang sejak tadi terisak hebat dengan airmata yang bercucuran mendekapnya erat, sementara sang ayah terduduk lemas dengan pandangan kosong dan aliran sungai yang mengalir melewati kedua pipinya, menangis tanpa suara.
“Bu, Kak Sinta jahat. Kenapa Kak Sinta ninggalin Risya, bu?” suaranya terdengar kian melemah.
***
“Hey, kamu kenapa?” tepukan Rina di pundakku seolah menyadarkanku.
“Kamu tidak apa-apa, kan? Tangan kamu dingin. Kamu juga pucat sekali.” Rina menggenggam tanganku yang memang terasa sangat dingin.
“T-tidak. A-aku baik-baik saja. Mungkin aku sedikit lelah,” ujarku setenang mungkin.
“Ya sudah, lebih baik kamu istirahat saja di rumah,” bujuk Rina padaku.
“Ah, i-iya. Kalau begitu aku pamit pulang duluan. Maaf, ya, Sani, aku tidak bisa sampai selesai. Semoga cepat sembuh, ya,” ucapku dengan tergesa.
“Iya, tidak apa-apa. Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk menjengukku.” Aku tersenyum dengan cepat bergegas pergi dari tempat menakutkan ini.
***
Minggu pagi ini begitu cerah. Di hadapanku terdapat sebuah gundukan tanah dengan nisan yang terbuat dari batu marmer tertancap di bagian atasnya bertuliskan ‘Yasinta Ahadina Putri’. Nama seseorang yang selalu hadir di setiap mimpi indah sekaligus mimpi burukku selama empat tahun terakhir. Aku tak kuasa membendung perasaanku yang begitu menyesakkan hingga kurasakan tangan Bi Ina merangkul bahuku dengan hangat.
“Bi, sudah tahun keempat aku menjalani hidup tanpanya. Aku sangat merundukannya. Aku merindukan kebahagiaanku yang dulu. Aku rindu senyuman hangat ayah untukku. Aku rindu masakan ibu. Andai saat itu aku tidak merengek meminta Kak Sinta membelikanku gelang di sebrang jalan itu, mungkin semua tidak akan seperti ini.” Bi Ina mulai terisak mendengar ocehanku itu dan semakin mengeratkan pelukkannya.
“Non Risya yang sabar, ya, Non. Tidak baik berandai-andai terus seperti itu. Lebih baik kita doakan agar Non Sinta tenang disana,” lirih Bi Ina menguatkan.
“Kak Sinta, Risya sangat merindukan kakak. Apa kakak juga merindukan Risya?”
~END~
0 komentar:
Posting Komentar