Selain sebagai makhluk individu,
manusia juga disebut sebagai makhluk sosial yang memiliki kebutuhan dan
kemampuan untuk berinteraksi dengan manusia yang lain. Dalam hubungan
interaksional inilah terjadi hubungan suatu proses belajar mengajar di antara
manusia, termasuk dalam proses dakwah.
Dalam proses interaksi ini terdapat
tindakan saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan individu yang
lain, baik secara personal maupun kelompok sosial. Pada kegiatan dakwah juga
terjadi proses saling mempengaruhi antara da’i dengan mad’u atau sebaliknya.
Syarat terjadinya interaksi sosial
adalah adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication).
Proses dakwah merupakan proses komunikasi. Hal tersebut, dapat diartikan bahwa
dalam kegiatan dakwah pasti selalu ada proses interaksi, yaitu hubungan antara
da’i sebagai komunikator di satu pihak dan mad’u sebagai komunikan di pihak
lain. interaksi dalam hal ini ditunjukkan untuk mempengaruhi mad’u yang akan
membawa perubahan sikap sesuai dengan tujuan dakwah. Dengan demikian, dalam
komunikasi dakwah dapat dipastikan terjadi yang namanya proses interaksi sosial
antara da’i dan mad’u (Ahmad, 2014:26).
Tujuan komunikasi dalam kegiatan
dakwah pada umumnya yaitu melakukan proses sosialisasi pesan-pesan Islam serta
mengharapkan partisipasi dari mad’u atas ide-ide atau pesan-pesan yang disampaikan
oleh pihak da’i sehingga pesan-pesan yang disampaikan tersebut terjadilah
perubahan sikap dan tingkah laku yang diharapkan, sedangkan tujuan komunikasi
dakwah yaitu mengharapkan terjadinya perubahan atau pembentukan sikap atau
tingkah laku sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam Hasyim Hasanah dalam jurnal
At-Taqaddum (2012: 93-94) menyatakan bahwa proses kegiatan dakwah selalu
terjadi proses interaksi yaitu hubungan sosial antara unsur dakwah yang
bertujuan untuk menjalin harmonisasi, diantaranya menghasilkan hakikat dan
makna pesan dakwah, kegiatan tabligh dan silaturahmi, model perilaku yang
islami, tema-tema efektifitas dan efisiensi kegiatan dakwah, serta kegiatan
pemberdayaan dan pengembangan potensi kemanusiaan secara integral dan
komprehensif.
Adapun faktor yang terlibat dalam
dinamika interaksi sosial adalah faktor sugesti, imitasi, identifikasi, dan
simpati. Dasar-dasar interaksi sosial dapat diterapkan dalam proses berdakwah
dengan benar-benar memahami dan mengerti kondisi sasaran dakwah dari segi umur,
geografis, pendidikan, dll. Faktor imitasi dapat dijelaskan bahwa da’i dituntut
untuk dapat menyebarkan (mensosialisasikan) serta menarik perhatian sasaran
dakwah agar mereka mencontoh ide serta tindakan da’i yang sesuai dengan ajaran
Islam.
Pada kegiatan dakwah, faktor-faktor
interaksi sosial ini memiliki peran penting terutama bagi da’i sebagai pegiat
dakwah. Banyak da’i yang dalam dakwahnya melakukan berbagai macam pendekatan
guna menarik simpati dari mad’unya. Setelah mendapat simpati dari mad’u, para
pegiat dakwah tersebut dapat mensugestikan pesan-pesan dakwah sehingga lebih
mudah diterima oleh mad’u. Dalam buku Sosiologi Dakwah (Aripudin, 2013)
disebutkan bahwa, beberapa da’i seperti alm. Zainuddin MZ, M. Amien Rais, dan
A.M. Fatwa lebih banyak mewarnai dunia publik politis. Fenomena social-politi
da’i yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia, pasca kolonialisasi dan
refornasi khususnya, menggerakkan mereka untuk memperbaiki sisi politik
aktivitas umat Islam.
Da’i-da’i lain yang juga sering
diliput media seperti Arifin Ilham, Aa Gym, dan Yusuf Mansur lebih menekankan
dakwahnya pada pendekatan spiritual Islam. Tidak hanya menyebarkan nilai-nilai
Islam, para da’i tersebut juga kerap kali memberikan sugesti positif kepada
mad’u, misalnya melalui zikir dan sedekah yang dirasa dapat mendatangkan
ketenangan hati. Sebagai figur yang menjadi teladan, banyak mad’unya bahkan
sesama da’i yang kemudian meniru perilaku da’i-da’i, mulai dari cara bicara,
gaya atau penampilan, dan sebagainya.
Dalam teori interaksi sosial yang
terdapat pada buku Sosiologi: Suatu Pengantar (Soekanto, 1982), terdapat dua
golongan proses sosial sebagai akibat dari interaksi sosial, yaitu proses
asosiatif dan proses disosiatif.
Pada proses asosiatif terdapat
beberapa bentuk kerja sama, salah satunya adalah Co-optation, yang idefinisikan
sebagai proses kerja sama yang terjadi antara individu dan kelompok yang
terlibat dalam sebuah organisasi atau negara di mana terjadi proses unsur-unsur
baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi untuk
mencapai stabilitas.
Lembaga-lembaga dakwah yang semula
murni bergerak dalam bidang dakwah mulai merambah pada bidang lain. Dalam
bukunya, DR. Acep Aripudin (2013:10) menyontohkan bahwa ormas keagamaan NU dan
Muhammadiyyah misalnya, merupakan lembaga yang lahir karena semangat reformasi
tradisional Islam. Namun kemudian bergeser secara dinamis menjadi lembaga
keagamaan yang berfungsi sebagai lembaga “semipolitik”, bahkan dalam kasus NU
pernah berkembang menjadi partai politik. Begitu juga dengan Muhammadiyah yang
berkembang menjadi lembaga sosial keagamaan yang cenderung mengembangkan “bisnis”
dalam bidang pendidikan dan sosial.
Dalam proses akomodasi, sebagian
besar da’i di pedesaan biasanya ditunjuk oleh masyarakat untuk menjadi penengah
ketika terjadi perselisihan karena mereka menganggap tokoh pendakwah bisa lebih
bijaksana dalam mengambil keputusan tanpa memihak kepada salah satunya.
Pada kegiatan dakwah juga tidak
jarang terjadi persaingan. Para pegiat dakwah saling berlomba-lomba untuk
menarik perhatian khalayak dalam rangka mejalankan misi dakwahnya. Melalui
media dakwah populer, para pegiat dakwah tersebut menampilkan ciri khasnya agar
dikenal dan selalu diingat sehingga pesan-pesan dakwahnya mudah diterima.
Contohnya da’i yang tampil di televisi atau grup-grup nasyid yang menyisipkan
pesan dakwah lewat musik. Belum lagi penulis yang menyisipkan nilai-nilai Islam
dalam tulisannya yang dimuat dalam majalah atau buku-buku fiksi maupun
nonfiksi.
Proses asimilasi yang dilakukan oleh
Wali Songo ketika menyebarkan Islam di Pulau Jawa berlangsung melalui saluran
yang dapat berkompromi dengan kebudayaan sebab pada saat itu masyarakat
Nusantara telah hidup dalam peradaban dan budaya yang terlebih dulu mewarnai
kehidupannya. Interaksi yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan ajaran
Islam berjalan dengan damai dikarenakan para wali menggunakan pola dakwah yang
sarat akan simbol-simbol budaya lokal seperti wayang dan gamelan. Pertemuan
tradisi setempat dengan nilai-nilai ajaran selama proses yang dilaluinya tidak
mengganggu prinsip aqidah yang menjadi pokok ajaran Islam dapat menarik simpati
masyarakat sehingga Islam dapat dengan mudah memasuki ruang dalam kehidupan
masyarakat.
Beberapa da’i di Indonesia pernah
menimbulkan kontroversi seperti diduga melakukan pelecehan, bahkan “mengamuk”
saat sedang menyampaikan ceramahnya. Hal ini tentunya berimbas pada menurunnya
intergritas da’i tersebut di mata mad’u. Salah satu mufassir di Indonesia juga
dikenal sebagai ulama kontroversial karena cara atau pendekatannya dalam
menelaah Al-Quran dan hadits berbeda dengan pendekatan sebaian ulama pada umumnya.
Karena perbedaan itulah, kadang ceramahnya sulit diterima oleh masyarakat
umumnya.
Interaksi sosial yang dilakukan oleh
para da’i nampaknya menarik banyak perhatian masyarakat. Masyarakat juga dapat
menilai para da’i tersebut, misalnya da’i yang menerapkan pola asimilasi akan
menarik lebih banyak antusiasme masyarakat sementara da’i yang menuai
kontroversi malah membuat masyarakat bersikap antipati dan kontroversi tersebut
dapat menurunkan citra da’i.
Daftar Pustaka:
Ahmad, Nur.
2014. “Komunikasi sebagai Proses Interaksi Sosial dalam Dakwah” dalam Jurnal
At-Tabsyir, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember, Hlm. 17-34
Aripudin, Acep.
2013. Sosiologi Dakwah. Bandung: Remaja Rosda Karya
Bungin, Burhan.
2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana
Hasanah,
Hasyim. 2012. “Efektivitas Interaksi Sosial dan Unsur Dakwah dalam Kegiatan
Dakwah” dalam Jurnal At-Taqaddum, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember, Hlm.
86-98
Ilaihi, Wahyu.
2010. Komunikasi Dakwah. Bandung: Rosda
Ma’arif,
Bambang.S. 2010. Komunikasi Dakwah: Paradigma Untuk Aksi. Bandung:
Remaja Rosda Karya
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi: Suatu
Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
0 komentar:
Posting Komentar