Judul Buku : Lupa Endonesa Deui
Penulis : Sujiwo Tejo
Penerbit : Bentang
Penulis : Sujiwo Tejo
Penerbit : Bentang
Jika melihat dari judul bukunya, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa buku ini bercerita tentang masyarakat yang melupakan negaranya kemudian beralih pada budaya asing yang sedang digandrungi pada masanya. Awalnya saya juga berpikiran seperti itu, padahal kenyataannya tidak.
Dalam buku ini, Sujiwo Tejo mengkritisi berbagai fenomena yang ada di Indonesia, baik dari segi sosial, politik, dan budaya. Meski permasalahan yang dibahas cenderung sensitif, penulis yang juga seorang dalang dan seniman fenomenal ini sangat berani dalam mengungkapkan apa yang ia rasakan tentang bangsa ini.
Sambil menyelam minum air. Mungkin itu yang dipikirkan penulis ketika menggambarkan pelaku cerita dalam bentuk tokoh-tokoh pewayangan. Selain mengajak masyarakat Indonesia untuk ikut membicarakan Tanah Air bersamanya, Sujiwo Tejo juga sekaligus mengenalkan dunia pewayangan, terutama bagi anak muda yang cenderung mengesampingkan kebudayaan sendiri dibanding budaya asing yang dibilang kekinian.
Buku “Lupa Endonesa Deui” menyadarkan kita bahwa sebenarnya negara ini mempunyai benyak kekurangan yang disebabkan oleh warganya sendiri. Contohnya dalam masalah pendidikan. Dalam sub-bab “Sengkuni Benar Soal Kurikulum”, benar adanya bahwa murid SD tidak seharusnya diberi banyak pelajaran yang mengakibatkan waktu bermain mereka berkurang. Penjurusan antara IPA/IPS di SMA membuat siswa dipaksa untuk belajar atau menyenangi pelajaran yang bukan kemampuannya. Benar adanya kata Petruk dalam bab ini, “kurikulum harus disesuaikan juga dengan bakat dan kemampuan siswa. Jangan tanam padi di tegal. Jangan tanam jangung di sawah”.
Sebenarnya masih banyak lagi kritisi lainnya karena buku ini memang bukan berupa novel yang berbentuk suatu cerita berdasarkan kronologi, namun pokok bahasan yang diangkat sangat menarik, berani, dan apa-adanya. Tema-tema yang digunakan adalah hal yang benar adanya dan ditulis berdasarkan pengalaman yang memang terjadi di negeri ini.
Meskipun ada beberapa istilah bahasa daerah yang sulit dimengerti secara langsung, namun secara keseluruhan, isi buku ini membuat pembaca lebih membuka pikiran tentang Indonesia.
Satu hal yang perlu ditekankan, bukan berarti menyebarluaskan kejelekan yang ada di negeri sendiri dengan mencari-cari kesalahan yang ada di dalamnya, tetapi diharapkan agar masyarakat Indonesia bisa lebih kritis pada peristiwa yang terjadi di tanah-airnya sehingga bisa sama-sama berkaca untuk saling memperbaiki.
0 komentar:
Posting Komentar