Rabu, 05 Desember 2018

Cerpen | Kartiniku Telah Kembali

"Bu, R.A. Kartini hebat, ya. Nisa ingin jadi sepertinya."

Kalimat itu selalu terngiang dalam benak Ibu setiap kali ia merindukan Nisa, anak sulungnya yang sedang menempuh pendidikan di Bandung.
Sejak Bapak meninggal, Ibu tinggal dengan kedua anaknya, Nisa dan Fajar. Namun hampir dua tahun ke belakang ia hanya tinggal dengan Fajar, anak bungsunya yang masih duduk di kelas dua SMA karena Nisa memilih merantau ke Bandung untuk kuliah.
Seperti mimpinya saat SMP, Nisa ingin jadi seperti R.A. Kartini. Sejauh ini dia sudah berusaha keras hingga mendapat beasiswa kuliah S1. Di kampus, Nisa merupakan mahasiswa yang berprestasi dan aktif di organisasi. Kepandaian dalam berbicara membuatnya diakui bukan hanya oleh teman-temannya tapi juga oleh para dosen.

Tidak hanya aktif di kampus, Nisa juga suka membagi ilmunya. Bersama rekan-rekannya ia membentuk komunitas peduli pendidikan bagi anak jalanan. Di waktu luang, ia menulis artikel tentang feminisme dan mengirimnya pada redaksi majalah wanita. Meski bayarannya tidak seberapa, tapi pekerjaan sampingannya sebagai penulis lepas dirasa cukup untuk bekal makan beberapa hari. Nisa benar-benar menjelma menjadi "Kartini Masa Kini".

***

"Halo, assalamu'alaikum. Nis, gimana kabarmu?" Suara Ibu lewat telepon terasa begitu hangat.

"Wa'alaikumsalam. Nisa baik, Bu. Ibu dan Fajar sehat?"

Di tengah kesibukannya, Nisa selalu menyempatkan diri untuk menelepon ibunya.

"Ibu dan Fajar juga baik. Nis, libur semester ini kamu pulang?"

"Maaf, Bu, sepertinya Nisa belum bisa pulang. Jadwal Nisa masih padat."

"Lho, liburan kemarin kamu sudah tidak pulang. Lebaran juga di Bandung. Nggak kangen, apa, sama ibumu ini?" Tersirat kekecewaan dalam suara Ibu.

"Bukan Nisa nggak kangen. Mau bagaimana lagi, memang Nisa belum bisa pulang. Maafkan Nisa, Bu. Minggu depan akan ada seminar peringatan Hari Kartini. Nisa ditunjuk sebagai salah satu penanggung jawab. Mohon doanya, Bu."

"Ya sudah, kalau begitu. Ibu selalu mendoakan 'Kartini Ibu' agar selalu sukses meraih mimpi." Dengan berat hati, lagi-lagi Ibu berusaha memaklumi kesibukan Nisa.

"Mbak Nisa nggak bisa pulang lagi?" Sesaat setelah telepon tertutup, Fajar menghampiri Ibu dengan membawa bungkusan berisi beberapa macam obat.

"Kamu tahu sendiri, kesibukan Mbakmu itu."

"Selalu seperti itu. Coba Ibu mengatakan kondisi yang sebenarnya."

"Kita harus mengerti Mbakmu. Ibu tidak mau menambah bebannya."

"Apa pulang untuk mengunjungi Ibu itu beban? Apa memikirkan kondisi Ibu itu beban? Kapan Mbak Nisa belajar untuk mengerti?" Fajar mulai kesal.

"Nisa sedang berjuang mewujudkan mimpinya. Toh, kegiatannya itu baik." Suara Ibu begitu menenangkan, tapi nampaknya tidak cukup meredakan kekesalan Fajar.

"Perempuan hebat apanya? Keadaan ibunya sendiri saja dia tidak tahu."

"Jangan bicara begitu. Ibu–" ucapan Ibu terpotong karena batuk mulai menyerangnya. Fajar buru-buru menyodorkan air minum.

***

"Nis, gimana persiapannya? Sudah H-2, nih."

Siang itu Nanda, rekan Nisa, menghampirinya yang sedang duduk di perpustakaan fakultas.

"Sudah, dong. Semua sudah siap. Tinggal konsumsi saja yang belum matang, hehehe," jawab Nisa santai.

Kali ini dia didaulat sebagai wakil ketua pelaksana seminar peringatan Hari Kartini.

"Baguslah kalau begitu. Tidak salah aku menunjukmu sebagai wakil yang bisa diandalkan." Lelaki berwajah campuran Jawa-Cina itu memang mengagumi sosok Nisa.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu begitu mengagumi Kartini?" Nanda memulai topik baru.

"Beliau perempuan hebat. Berpikiran terbuka, berpengetahuan luas. Bukan sekadar berwacana tapi juga melakukan aksi nyata. Bagiku Kartini adalah Kartini. Perempuan yang berani untuk bermimpi dan mewujudkan mimpinya. Bagaimana denganmu?" ujar Nisa antusias.

"Ya, beliau berani melakukan pendobrakan, tapi tidak melupakan tradisi. Kepatuhannya tidak menjadi hambatan untuk mewujudkan mimpi." Dengan kalem, Nanda mengungkap pendapatnya.

"Siapa sosok pahlawan seperti Kartini dalam hidupmu?" Tanya Nisa.

"Seperti yang kamu bilang, Kartini adalah Kartini, pahlawan yang berjasa bagi perempuan Indonesia. Tapi bagiku Mama tetap pahlawan nomor satu." Senyuman Nanda terbit. "Bukan mau membandingkan dengan pahlawan nasional, bukan juga karena aku seorang pria. Tapi buatku, Mama adalah pahlawan. Untuk menjadi seorang pahlawan tidak harus selalu membuat dobrakan besar, punya prestasi gemilang, apalagi sampai angkat senjata. Menjadi seseorang yang melahirkanku, membesarkanku dengan kasih sayang, dan menghargai apa yang kulakukan, itu cukup untuk menjadikan Mama seperti Kartini. Sosok pahlawan bagi anaknya," lanjutnya.

Nisa terdiam. Seperti ditampar, ia sadar bahwa ambisi menjadi seperti Kartini membuatnya mengesampingkan sosok Ibu.

Dering ponsel Nisa menghentikan obrolan mereka. Sebuah pesan singkat dari Fajar membuatnya berdebar. Tidak biasanya adiknya itu mengirim pesan. Sejak Nisa jarang pulang, Fajar tidak pernah menghubunginya, malah terkesan menghindari. Mereka hanya bercakap sedikit saat ia menelepon Ibu.

'Ibu masuk UGD.'

Hanya tiga kata, tapi pesan itu membuatnya hampir terkena serangan jantung. Ia buru-buru menelepon adiknya, tapi hanya suara operator yang didengarnya.

"Ada apa?" Nanda menyela.

"Fajar SMS. Dia bilang Ibu masuk UGD. Saat kutelepon, tidak diangkat. Aku takut terjadi sesuatu." Nisa mulai resah.

"Mungkin Fajar sedang mengurus keperluan Ibu." Nanda berusaha menenangkan.

"Perasaanku tidak enak. Aku mau pulang dulu. Maaf, aku permisi" Nisa bergegas pergi.

***

"Kenapa nggak pernah bilang kalau Ibu sakit?" Suara Nisa meninggi. Masih tersirat kekhawatiran di wajahnya.

Dua puluh menit lalu adiknya menelepon, bilang bahwa kondisi Ibu sudah stabil. Fajar juga menceritakan penyakit Ibu yang baru diketahui satu setengah tahun terakhir. Kanker paru-paru stadium dua. Sudah cukup parah tapi baru diketahui. Sebelumnya Ibu sering menahan sakitnya dan menganggap gejala yang dirasa sekadar penyakit biasa, membuat mereka terlambat mengetahui penyakit mematikan itu.

"Mbak tahu, saking nggak mau membebani Mbak yang selalu sibuk, Ibu menyuruhku merahasiakannya." Emosi Fajar mulai naik.

"Besok Mbak pulang. Kamu jaga Ibu baik-baik."

"Kenapa harus menunggu Ibu masuk UGD dulu baru Mbak mau pulang?!" Saking kesalnya, Fajar menutup telepon  sepihak. Sebenarnya ia masih ingin meluapkan kekesalannya, tapi ia pikir itu tidak ada gunanya. Ia juga tidak mau ketika Ibu bangun mendengar perseteruannya dengan Mbaknya.

***

Subuhnya Nisa langsung berangkat ke terminal mencari bus. Seharian waktu tempuh Bandung-Rembang diliputi perasaan resah meski Fajar mengabarkan kondisi Ibu cukup baik. Sesampainya di kota kelahiran yang tidak dikunjungi selama dua tahun terakhir, Nisa langsung menuju rumah sakit. Perasaan haru meliputi Nisa ketika melihat Ibu terbaring dengan selang infus di tangan kiri dan alat bantu pernafasan.

"Bu, Nisa pulang." Air mata tidak bisa lagi ditahannya ketika memeluk tubuh lemas Ibu.

"Syukur kamu sampai dengan selamat. Ibu bahagia Kartini Ibu telah kembali." Ucapan Ibu menambah banjirnya air mata Nisa.

***

Semalaman Ibu dan anak itu meluapkan kerinduan. Meski sudah disuruh tidur, Ibu tetap ngeyel ingin mengobrol dengan Nisa.

"Bukannya kamu bilang besok ada seminar, kenapa malah pulang?"

"Nisa kangen Ibu, makanya Nisa pulang." Nisa berusaha menahan air mata.

"Apa karena Ibu sakit, makanya kamu meninggalkan kegiatanmu?"

"Nggak, Bu. Nisa pulang karena Nisa ingin bertemu Ibu. Lagipula semua persiapan sudah beres." Perasaan bersalah tiba-tiba menyeruak.

"Ibu bangga melihat anak Ibu menjadi perempuan yang hebat. Berprestasi, aktif organisasi, dan berhati mulia. Kamu sudah mirip R.A. Kartini." Ibu berhenti sejenak, "Ibu senang jika anak Ibu berhasil meraih mimpinya. Tapi jujur, Ibu lebih suka jika kamu tetap menjadi anak Ibu. Menemani Ibu yang sudah tua ini." Perkataan Ibu membuat mata Nisa berkaca-kaca.

"Maaf jika Ibu terlalu egois. Bukan maksud Ibu menghalangi mimpimu. Kamu boleh jadi apapun yang kamu mau. Tapi untuk menjadi Kartini buat Ibu, kamu cukup jadi anak Ibu, Ibu sudah sangat bersyukur." Ibu menggenggam tangan Nisa seolah-olah tidak ingin melepaskannya.

***

Pagi itu Nisa pulang ke rumah untuk mengambil beberapa keperluan. Ia masih teringat perkataan Ibu yang membuat ia teringat obrolannya dengan Nanda. Ia belajar satu hal, untuk menjadi Kartini tidak perlu berlari terlalu jauh. Cukup selalu ada untuk orang yang paling disayanginya.

Nisa bergegas menuju kamar Ibu. Sesampainya di lorong ruangan Ibu dirawat, perasaannya tiba-tiba tidak enak melihat beberapa dokter keluar dari kamar Ibu. Ia mempercepat langkahnya, membuka pintu dan mendapati Fajar menangis di samping ranjang tempat tubuh Ibu terbaring tertutup selimut.
Mendengar puntu terbuka, Fajar menoleh, "Mbak, Ibu sudah nggak ada."

Empat kata itu sukses membuat tubuhnya lemas, tulangnya seakan-akan dicabut paksa. Nisa berharap ini hanya mimpi tapi kenyataan menyadarkannya. Ibu telah pergi. Kartininya telah kembali –pada penciptanya.

-Selesai-


Bandung, 21 April 2018

0 komentar:

Posting Komentar