Judul : Charlie Si Jenius Dungu
Penulis : Daniel Keyes
Penerjemah : Isma B. Koesalamwardi
Judul Asli : Flowers for Algernon
Penerbit : UFUK
Siapa yang bisa memilih dari siapa ia dilahirkan? Keadaan seperti apa yang harus dijalaninya dalam kehidupan? Atau menjadi seperti apa ia di masa depan? Semua adalah kehendak dari Yang Mahakuasa.
Terlahir dengan kecerdasan intelektual dibawah rata-rata bukanlah keinginan setiap orang. Dimana dengan IQ dibawah 100 membuat seseorang tidak dapat mengerti tentang suatu hal yang dilakukannya, atau segala hal yang berada di lingkungan sekitarnya. Berkelakuan layaknya anak-anak padahal usianya sudah menginjak dewasa.
Buku ini merupakan novel dengan genre psikologi berjenis fiksi ilmiah berdasarkan hipotesis yang meyakinkan. Penulisnya, Daniel Keyes adalah seorang pengarang novel berkebangsaan Amerika yang sangat terkenal. Ia lahir di New York pada 9 Agustus 1927 dan bergabung dengan Angkatan Laut Amerika di usianya yang ketujuh belas tahun.
Setelah meninggalkan Angkatan Laut, Ia meneruskan studinya di City Collage of New York (CUNY) dimana dia menerima S1 di bidang psikologi. Ia kemudian bekerja sebagai editor di bagian fiksi, namun tak lama kemudian meninggalkan bidang ini dan beralih ke fotografi fashion. Ia kemudian mendapatkan sertifikasi untuk mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah di New York.
Sambil mengajar, ia meneruskan sekolahnya di CUNY untuk mendapat gelar S2 dalam bidang Bahasa Inggris dan Sastra Amerika. Setelah lulus S2, ia mengajar di Wayne State University di bidang menulis kreatif, kemudian bergabung di Ohio University dan mendapatkan status sebagai Professor Emertus.
Beberapa karyanya yang terkenal antara lain, The Touch (1968), The Fifth Sally (1980), The Minds of Billy Milligan (1981), Unveiling Claudia: A True Story of a Serial Murder (1986), dan Flowers for Algernon (1966). Dari kelima buku tersebut, dua diantaranya telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, yaitu ‘The Minds of Billy Milligan’ dengan judul bahasa Indonesia ‘24 Wajah Billy’ yang pernah menjadi bestseller dan satu lagi ‘Flower for Algernon’ dengan judul bahasa Indonesia ‘Charlie Si Jenius Dungu’.
Dengan melihat latar belakang penulis, tak ayal jika karya-karyanya kebanyakan bergenre psikologi sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Novel terjemahan dengan judul asli Flower for Algernon ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang pria bernama Charlie Gordon yang terlahir dengan IQ 68. IQ yang dibawah rata-rata ini membuat ia tidak dapat mengerti tentang suatu hal yang dilakukannya atau segala hal yang berada di lingkungan sekitarnya. Tingkah lakunya cenderung bersikap seperti anak-anak yang belum mengerti apa-apa padahal usianya sudah 32 tahun. Ia sering mendapat perlakuan tidak adil dari orang tuanya yang merasa malu karena mempunyai anak seperti Charlie, selain itu juga ia selalu menjadi bahan olokan orang-orang.
Mendapati kenyataan bahwa Charlie bukanlah anak yang sempurna, itu seakan menjadi aib bagi keluarganya, dan karena takut anak keduanya “tertular” maka orang tuanya membuangnya. Charlie kemudian diasuh oleh seorang pemilik toko roti bernama Paman Doner dan dipekerjakan sebagai penyapu lantai.
Kenangan-kenangan terakhir bersama ibunya selalu membuat Charlie berusaha sangat keras untuk menjadi anak yang pandai sesuai harapan sang ibu. Namun penderitaan yang dialami Charlie tidak lantas membuatnya putus asa, hingga ia berusaha bagaimana caranya agar menjadi pandai layaknya orang-orang normal lainnya. “Aku ingin menjadi pandai Miss Kinnian, aku ingin ibu bangga padaku.” Begitulah pengakuan Charlie kepada guru sekolah keterbelakangan mental untuk orang dewasa di Universitas Beekman.
Hingga suatu hari, seorang dokter dan profesor yang pernah melakukan percobaan operasi terhadap seorang tikus hingga tikus tersebut menjadi jenius menawarkan Charlie untuk melakukan operasi serupa agar ia bisa menjadi jenius seperti tikus yang diberi nama Algernon. Charlie setuju. Akhirnya operasi berjalan lancar dan dengan keseriusan serta kerja kerasnya, Charlie berubah menjadi jenius.
Namun kejeniusan yang dimilikinya kemudian menjadi bumerang baginya. Ia berharap dengan menjadi pandai seperti orang normal lainnya, ia akan lebih disenangi banyak orang. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kejeniusan yang dimilikinya seraca tiba-tiba membuat orang-orang menjadi tidak menyukainya karena ia dianggap terlalu sok tahu. Ia bahkan kehilangan pekerjaan di toko roti dan teman-temannya.
Sampai pada suatu ketika, Charlie menemukan fakta bahwa terdapat degradasi pada Algernon, tikus yang menjadi bahan eksperimen sebelum dirinya. Algernon terus mengalami penurunan kecerdasan secara drastis, menjadi liar dan mudah marah, dan sering membentur-benturkan diri pada dinding labirin tempatnya berlatih.
Tidak lama kemudian, Algernon mati dengan kerusakan yang parah pada jaringan otaknya. Charlie menyadari bahwa suatu saat ia mungkin akan bernasib sama dengan Algernon karena gejala yang terjadi pada tikus itu juga terjadi padanya. Charlie menjadi sosok yang tempramen dan mudah tersinggung, ia menjadi sering menabrak pintu dan terkadang merasa tidak bisa membaca atau menulis.
Dalam perjuangannya melawan waktu, Charlie kembali bekerja di toko roti Paman Doner setelah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dalam keadaan ini ia sadar bahwa lebih baik menjadi Charlie yang apa adanya dimana hidupnya terasa tenang dan dapat kembali bekerja di toko roti Paman Doner serta kembali berkumpul dengan teman-temannya.
Lantas bagimana nasib Charlie yang juga melakukan operasi yang sama seperti Algernon? Apakah ia hanya mengalami penurunan kecerdasan? Ataukah akan berakhir sama dengan Algernon, yaitu kematian?
Keunggulan novel ini adalah pengulasan dengan gaya laporan yang ditulis oleh pelaku utamanya, Charlie Gordon. Pada halaman-halaman awal akan terdapat banyak kesalahan penulisan kata-kata, tanda baca, dan tata bahasa lainnya. Hal tersebut bukan dikarenakan kesalahan pengetikan atau percetakan, bukan pula karena belum melalui proses penyuntingan. Namun inilah yang menjadikan novel ini berbeda.
Penulis begitu detail dalam menggambarkan tokoh utama yang memiliki IQ rendah sampai-sampai tidak dapat menulis dengan tepat. Selanjutnya, laporan-laporan ini menujukkan perkembangan dengan perbaikan-perbaikan tata bahasa, gaya tulis, dan pola pikir.
Pembaca seolah-olah benar-benar dibawa menyelami dinamika kehidupan Charlie. Mulai dari saat cara pikir Charlie yang masik kekanak-kanakan dan menghadapi segala hal dengan senyuman, sampai pada perubahan kecerdasan dan pribadi Charlie yang menjadi pandai serta kritis terhadap sesuatu.
Alur yang digunakan adalah alur maju-mundur-maju, dimana kisah dimulai dari Charlie yang masih ber-IQ 68 sampai dengan kemajuan yang dialaminya ketika menjadi jenius. Di tengah kisah juga diceritakan kilas balik masa kecil Charlie berupa kenangan-kenangan bersama orang tuanya.
Ide kreatif penulis untuk mengangkat kisan ini dengan membuat pembaca seolah-olah tidak membaca novel tetapi membaca catatan harian seorang terbelakang, berhasil membuat buku ini terjual hingga lebih dari lima juta copy serta berhasil meraih penghargaan HUGO AWARD dan NEBULA AWARD.
Kekurangan dalam novel ini adalah terdapat beberapa kisah yang tidak sesuai dengan budaya ketimuran, seperti kisah minum-minuman keras dan lain-lain. Selain itu juga terdapat bahasa yang terlalu akademis sehingga terkadang sulit dimengerti oleh orang awam, seperti tes apersepsi tematik pada halaman 14.
Novel ini memberikan motivasi bagi orang-orang yang memiliki nasib serupa dengan Charlie dimana setiap orang dapat menjadi pandai berkat usaha dan kerja keras serta keyakinan yang kuat. Selain itu, hidup dengan menjadi diri sendiri berkekurangan lebih baik daripada hidup dengan berbagai kelebihan akan tetapi hal itu dapat mengubah diri menjadi orang lain. Toh, masih ada orang-orang yang bersedia menemani dan menyayangi dengan tulus dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kita miliki. Kisah dalam novel ini juga mengajarkan bahwa sesuatu yang didapat secara instan tidak akan berakhir dengan sempurna dan kekal.
Walaupun berjenis fiksi ilmiah, tetapi kisah yang disajikan terasa sangat ada dan meyakinkan sekali. Kisahnya sangat menyentuh hati, menegangkan, mengharukan, serta menguras emosi pembacanya dan jelas ditujukan hanya untuk pembaca yang menggemari novel serius. Sangat menarik dan juga sangat disarankan bagi mereka yang membutuhkan motivasi dalam kehidupannya untuk membacanya
Penulis : Daniel Keyes
Penerjemah : Isma B. Koesalamwardi
Judul Asli : Flowers for Algernon
Penerbit : UFUK
Siapa yang bisa memilih dari siapa ia dilahirkan? Keadaan seperti apa yang harus dijalaninya dalam kehidupan? Atau menjadi seperti apa ia di masa depan? Semua adalah kehendak dari Yang Mahakuasa.
Terlahir dengan kecerdasan intelektual dibawah rata-rata bukanlah keinginan setiap orang. Dimana dengan IQ dibawah 100 membuat seseorang tidak dapat mengerti tentang suatu hal yang dilakukannya, atau segala hal yang berada di lingkungan sekitarnya. Berkelakuan layaknya anak-anak padahal usianya sudah menginjak dewasa.
“Aku tidak pernah berhenti dari keinginan menjadi pandai seperti yang diinginkan Rose, karena aku ingin Mama menyayangiku.” Halaman 212
“Kecerdasan kini telah menimbulkan batas antara aku dan semua orang yang kukenal dan kucintai, membuatku terusir keluar dari pabrik roti ini. Sekarang, aku merasa jauh lebih kesepian daripada yang pernah kualami.” Halaman 166
Buku ini merupakan novel dengan genre psikologi berjenis fiksi ilmiah berdasarkan hipotesis yang meyakinkan. Penulisnya, Daniel Keyes adalah seorang pengarang novel berkebangsaan Amerika yang sangat terkenal. Ia lahir di New York pada 9 Agustus 1927 dan bergabung dengan Angkatan Laut Amerika di usianya yang ketujuh belas tahun.
Setelah meninggalkan Angkatan Laut, Ia meneruskan studinya di City Collage of New York (CUNY) dimana dia menerima S1 di bidang psikologi. Ia kemudian bekerja sebagai editor di bagian fiksi, namun tak lama kemudian meninggalkan bidang ini dan beralih ke fotografi fashion. Ia kemudian mendapatkan sertifikasi untuk mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah di New York.
Sambil mengajar, ia meneruskan sekolahnya di CUNY untuk mendapat gelar S2 dalam bidang Bahasa Inggris dan Sastra Amerika. Setelah lulus S2, ia mengajar di Wayne State University di bidang menulis kreatif, kemudian bergabung di Ohio University dan mendapatkan status sebagai Professor Emertus.
Beberapa karyanya yang terkenal antara lain, The Touch (1968), The Fifth Sally (1980), The Minds of Billy Milligan (1981), Unveiling Claudia: A True Story of a Serial Murder (1986), dan Flowers for Algernon (1966). Dari kelima buku tersebut, dua diantaranya telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, yaitu ‘The Minds of Billy Milligan’ dengan judul bahasa Indonesia ‘24 Wajah Billy’ yang pernah menjadi bestseller dan satu lagi ‘Flower for Algernon’ dengan judul bahasa Indonesia ‘Charlie Si Jenius Dungu’.
Dengan melihat latar belakang penulis, tak ayal jika karya-karyanya kebanyakan bergenre psikologi sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Novel terjemahan dengan judul asli Flower for Algernon ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang pria bernama Charlie Gordon yang terlahir dengan IQ 68. IQ yang dibawah rata-rata ini membuat ia tidak dapat mengerti tentang suatu hal yang dilakukannya atau segala hal yang berada di lingkungan sekitarnya. Tingkah lakunya cenderung bersikap seperti anak-anak yang belum mengerti apa-apa padahal usianya sudah 32 tahun. Ia sering mendapat perlakuan tidak adil dari orang tuanya yang merasa malu karena mempunyai anak seperti Charlie, selain itu juga ia selalu menjadi bahan olokan orang-orang.
Mendapati kenyataan bahwa Charlie bukanlah anak yang sempurna, itu seakan menjadi aib bagi keluarganya, dan karena takut anak keduanya “tertular” maka orang tuanya membuangnya. Charlie kemudian diasuh oleh seorang pemilik toko roti bernama Paman Doner dan dipekerjakan sebagai penyapu lantai.
Kenangan-kenangan terakhir bersama ibunya selalu membuat Charlie berusaha sangat keras untuk menjadi anak yang pandai sesuai harapan sang ibu. Namun penderitaan yang dialami Charlie tidak lantas membuatnya putus asa, hingga ia berusaha bagaimana caranya agar menjadi pandai layaknya orang-orang normal lainnya. “Aku ingin menjadi pandai Miss Kinnian, aku ingin ibu bangga padaku.” Begitulah pengakuan Charlie kepada guru sekolah keterbelakangan mental untuk orang dewasa di Universitas Beekman.
Hingga suatu hari, seorang dokter dan profesor yang pernah melakukan percobaan operasi terhadap seorang tikus hingga tikus tersebut menjadi jenius menawarkan Charlie untuk melakukan operasi serupa agar ia bisa menjadi jenius seperti tikus yang diberi nama Algernon. Charlie setuju. Akhirnya operasi berjalan lancar dan dengan keseriusan serta kerja kerasnya, Charlie berubah menjadi jenius.
Namun kejeniusan yang dimilikinya kemudian menjadi bumerang baginya. Ia berharap dengan menjadi pandai seperti orang normal lainnya, ia akan lebih disenangi banyak orang. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kejeniusan yang dimilikinya seraca tiba-tiba membuat orang-orang menjadi tidak menyukainya karena ia dianggap terlalu sok tahu. Ia bahkan kehilangan pekerjaan di toko roti dan teman-temannya.
Sampai pada suatu ketika, Charlie menemukan fakta bahwa terdapat degradasi pada Algernon, tikus yang menjadi bahan eksperimen sebelum dirinya. Algernon terus mengalami penurunan kecerdasan secara drastis, menjadi liar dan mudah marah, dan sering membentur-benturkan diri pada dinding labirin tempatnya berlatih.
Tidak lama kemudian, Algernon mati dengan kerusakan yang parah pada jaringan otaknya. Charlie menyadari bahwa suatu saat ia mungkin akan bernasib sama dengan Algernon karena gejala yang terjadi pada tikus itu juga terjadi padanya. Charlie menjadi sosok yang tempramen dan mudah tersinggung, ia menjadi sering menabrak pintu dan terkadang merasa tidak bisa membaca atau menulis.
Dalam perjuangannya melawan waktu, Charlie kembali bekerja di toko roti Paman Doner setelah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dalam keadaan ini ia sadar bahwa lebih baik menjadi Charlie yang apa adanya dimana hidupnya terasa tenang dan dapat kembali bekerja di toko roti Paman Doner serta kembali berkumpul dengan teman-temannya.
Lantas bagimana nasib Charlie yang juga melakukan operasi yang sama seperti Algernon? Apakah ia hanya mengalami penurunan kecerdasan? Ataukah akan berakhir sama dengan Algernon, yaitu kematian?
Keunggulan novel ini adalah pengulasan dengan gaya laporan yang ditulis oleh pelaku utamanya, Charlie Gordon. Pada halaman-halaman awal akan terdapat banyak kesalahan penulisan kata-kata, tanda baca, dan tata bahasa lainnya. Hal tersebut bukan dikarenakan kesalahan pengetikan atau percetakan, bukan pula karena belum melalui proses penyuntingan. Namun inilah yang menjadikan novel ini berbeda.
Penulis begitu detail dalam menggambarkan tokoh utama yang memiliki IQ rendah sampai-sampai tidak dapat menulis dengan tepat. Selanjutnya, laporan-laporan ini menujukkan perkembangan dengan perbaikan-perbaikan tata bahasa, gaya tulis, dan pola pikir.
Pembaca seolah-olah benar-benar dibawa menyelami dinamika kehidupan Charlie. Mulai dari saat cara pikir Charlie yang masik kekanak-kanakan dan menghadapi segala hal dengan senyuman, sampai pada perubahan kecerdasan dan pribadi Charlie yang menjadi pandai serta kritis terhadap sesuatu.
Alur yang digunakan adalah alur maju-mundur-maju, dimana kisah dimulai dari Charlie yang masih ber-IQ 68 sampai dengan kemajuan yang dialaminya ketika menjadi jenius. Di tengah kisah juga diceritakan kilas balik masa kecil Charlie berupa kenangan-kenangan bersama orang tuanya.
Ide kreatif penulis untuk mengangkat kisan ini dengan membuat pembaca seolah-olah tidak membaca novel tetapi membaca catatan harian seorang terbelakang, berhasil membuat buku ini terjual hingga lebih dari lima juta copy serta berhasil meraih penghargaan HUGO AWARD dan NEBULA AWARD.
Kekurangan dalam novel ini adalah terdapat beberapa kisah yang tidak sesuai dengan budaya ketimuran, seperti kisah minum-minuman keras dan lain-lain. Selain itu juga terdapat bahasa yang terlalu akademis sehingga terkadang sulit dimengerti oleh orang awam, seperti tes apersepsi tematik pada halaman 14.
Novel ini memberikan motivasi bagi orang-orang yang memiliki nasib serupa dengan Charlie dimana setiap orang dapat menjadi pandai berkat usaha dan kerja keras serta keyakinan yang kuat. Selain itu, hidup dengan menjadi diri sendiri berkekurangan lebih baik daripada hidup dengan berbagai kelebihan akan tetapi hal itu dapat mengubah diri menjadi orang lain. Toh, masih ada orang-orang yang bersedia menemani dan menyayangi dengan tulus dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kita miliki. Kisah dalam novel ini juga mengajarkan bahwa sesuatu yang didapat secara instan tidak akan berakhir dengan sempurna dan kekal.
Walaupun berjenis fiksi ilmiah, tetapi kisah yang disajikan terasa sangat ada dan meyakinkan sekali. Kisahnya sangat menyentuh hati, menegangkan, mengharukan, serta menguras emosi pembacanya dan jelas ditujukan hanya untuk pembaca yang menggemari novel serius. Sangat menarik dan juga sangat disarankan bagi mereka yang membutuhkan motivasi dalam kehidupannya untuk membacanya
0 komentar:
Posting Komentar