Selasa, 07 April 2015

Prosa Liris | Untukmu, Pria Terbaikku

Bagaimana kabarmu kini?

Ah, rasanya ganjil saat melontarkan itu. Selama kita masih bersama, jarang sekali kutanyakan kabarmu secara langsung. Meski banyak hal yang kauberi padaku tak lantas membuatku tergoda untuk rajin menanyakan kabarmu.

Apakah kau masih ingat? Dulu kau begitu pandai mengatur strategi saat menggerakkan tentara-tentara mungil diatas sebidang papan berpetak hitam-putih. Seringkali aku menantangmu untuk bermain, dan pada akhirnya aku harus menerima skak-mat karena kalah cerdas dibandingkanmu.

Oh, ya, ingat jugakah ketika kita saling bertaruh mendukung tim sepak bola kesayangan masing-masing hingga tak jarang kita begadang sampai dini hari? Aku ingat ketika pagi harinya harus menerima omelan ibuku karena sulit dibangunkan untuk sekolah.

Dulu kita suka berkejaran layaknya sinema India yang sering kutonton. Bersembunyi di balik pohon, dan berteriak ceria saat kau berhasil menangkapku. Tawaku kian menggema ketika kau mulai memutar-mutar tubuhku. Huh, sungguh kekanakan.

Semakin dewasa, sikapku juga berbeda. Ketika itu aku menjadi gadis yang tak jarang membuatmu kesal. Hingga kusadari, mungkin kau mulai lelah dengan rutinitasmu ditambah aku yang mulai menyebalkan ketika itu. Aku berusaha memahamimu, tapi entah mengapa egoku seolah mengalahkanku dan pada akhirnya aku berpikir bahwa kaulah yang menyebalkan dan tak pernah memahamiku.

Terakhir yang kuingat, kita jarang berbicara. Saat membuka mulut pun yang ada hanya adu argumen. Rasanya sulit sekali menahan diri. Apapun yang ada di kepala kulontarkan begitu saja, terlebih sejak kau mulai melarangku ini-itu. Kupikir kau terlalu protektif.

Seberapa besar aku menyakiti perasaanmu, seberapa banyak aku berkata kasar padamu dan seberapa sering aku mengabaikan ucapanmu, kau tak pernah membalas kesakitan itu. Wajah rupawanmu tetap terpasang di hadapanku. Senyum yang berwibawa dan pandangan mata yang teduh masih bisa kau perlihatkan setelah kulukai hatimu berulang kali. Aku mendiamkanmu. Tak pernah kusadari bahwa mata teduh itu menyimpan sejuta kelelahan yang terpendam.

Mungkin aku bodoh karena baru menulis ini saat kau telah terlepas. Tapi lebih dari itu, menyia-nyiakamu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. Kini aku merasakan sesuatu yang dinamakan penyesalan.

Sekarang kau telah pergi. Pergi meninggalkanku. Terima kasih untuk semuanya, dan ... maafkan aku. Maaf karena terlambat untuk berkata maaf, juga maaf karena tak sempat mengucap terima kasih selama kau masih di sisiku.

Bahagiakah kau di tempatmu saat ini? Ah, kau pasti bahagia karena akhirnya bisa berdampingan dengan pendamping barumu yang pastinya sangat-sangat jauh lebih baik dariku.

Kini aku hanya bisa memandangi wajah rupawanmu yang tercetak dalam selembar kertas berkilau ketika angan yang menyesakkan dada kerena rindu menggerogoti jiwa. Andai waktu bisa kuputar, kuingin kau selalu ada bersamaku, menghabiskan hidup bersama, melewati hari-hari penuh canda dan tawa.

Meski hati begitu ingin bertemu, aku hanya bisa menyebut namamu dalam perbincanganku dengan Sang Maha Pemilik Nyawa. Hanya kepada-Nya bisa kuadukan segala kerinduanku, juga mengharapkan semoga surga-Nya tersedia untukmu. Ya, hanya kepada-Nya, pendampingmu saat ini yang lebih besar rasa sayangnya kepadamu.

Aku sangat merindukanmu, Ayah... pria terbaik yang sangat kusayangi, yang kini telah kembali ke sisi penciptanya...

0 komentar:

Posting Komentar