Selasa, 07 April 2015

Fiksi Mini | Plafon Usang Berdebu

Anak-anak itu tampak saling berbisik. Sesekali menunduk mengoreskan arang pensil pada kertas di hadapannya, kemudian kembali berbisik-bisik.

Seorang anak yang duduk di belakang bahkan berani melongokkan kepala ke samping, ada pula yang sampai bertukar kertas.

Di sudut terdepan, wanita paruh baya terlihat santai dengan lembaran-lembaran kertas yang dibacanya. Ia tak begitu acuh dengan keadaan kelas yang tidak kondusif.

“Jangan ribut!” sesekali kalimat itu ia teriakkan kemudian kembali pada aktivitas sebelumnya.

Oh, lihatlah! Anak bertubuh gempal itu mengepalkan tinjunya ke arah ke arah gadis di sampingnya.

“Awas kalo kamu nggak mau ngasih contekan!” bisiknya dengan nada mengancam.

“Seperti inikah potret pendidikan dan moral negeri ini?” batinku meringis.

Aku jengah, tapi apa yang harus kulakukan? Membiarkan begitu saja semua kekacauan ini? Membiarkan calon penerus bangsa tenggelam dalam kubangan ketidakjujuran? Berpura-pura tidak mengetahui apa yang telah terjadi? Atau bahkan melupakan semua ini?

Sekilas aku melirik apa yang dibaca oleh pengawas itu. Selembar koran dengan headline “Indonesia Menjadi Negara Ke Empat Terkorup Di Dunia”.

Oh, tidak, ini kabar buruk! Aku tidak ingin anak-anak ini kelak menjadi salah satu koruptor karena ketidakjujuran yang mereka perbuat sejak kecil. Sayangnya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya sebuah material padat penutup atap yang bahkan terabaikan, sebuah plafon usang berdebu.
 

Bandung, 11 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar