Hai sahabat,
yang selalu tertangkap dalam lensa mataku adalah kegembiraan.
Telah kurekam tingkah polahmu lewat tawamu yang renyah, aksaramu yang riuh, matamu yang selalu berbinar dan pelangi yang kau bentangkan pada tiap hadirmu hingga siapapun disampingmu bisa nikmati berwarnanya hari.
Telah kurekam tingkah polahmu lewat tawamu yang renyah, aksaramu yang riuh, matamu yang selalu berbinar dan pelangi yang kau bentangkan pada tiap hadirmu hingga siapapun disampingmu bisa nikmati berwarnanya hari.
Aku bukan
jenius yang pandai mengkalkulasikan banyaknya masa yang kita lewati bersama karena kau juga pasti sadari
banyaknya digit angka tak cukup mendekripsikan menit saat kita jalani
hari-hari.
Aku sadar akan
percik sedih yang kau wujudkan dalam rupa candaan
dibalik topeng senyummu. Sayangnya kepekaanku yang selalu datang terlambat
membuatmu menelan efek samping dari pil pahit yang disebabkan topengmu itu
sendirian.
Ingin sekali kugandeng tanganmu ketika kau berlenggak-lenggok
menyusuri selaksa uji dari Sang Maha Pemilik Nyawa. Namun apa daya, aku hanya
orang yang terkadang tak di sampingmu saat kau berduka, tak mengobati saat kau
terluka, juga tak hadir saat kau berbangga.
Sore kemarin awan kelabu menyapa diikuti dengan iring-iringan air
yang mulai berjatuhan dari langit; di tempatku, mungkin di tempatmu berbeda.
Langit yang sama dengan tempat berpijak yang berbeda. Bumi yang sama, tapi bisa
saja kondisi menyamar menjadi tak serupa.
Kau tahu, derasnya membuatku mencium aroma rindu dari tanah basah yang dikecup hujan. Ketika rintiknya bicara perihal perjumpaan, dinginnya berkisah tentang realita yang mematahkan ilusi saat dan tempat; berupa jarak yang memisahkan.
Kau tahu, derasnya membuatku mencium aroma rindu dari tanah basah yang dikecup hujan. Ketika rintiknya bicara perihal perjumpaan, dinginnya berkisah tentang realita yang mematahkan ilusi saat dan tempat; berupa jarak yang memisahkan.
2 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar