Jumat, 03 Desember 2021

Resume | Pengaruh Pola Asuh Terhadap Perkembangan Intelektual dan Emosional Anak

Resume kegiatan Parenting Day 
Kamis & Jumat, 2 & 3 Desember 2021
Di RA Al-Akhyar
Oleh Bapak Budi Rahayu (Grahita Indonesia Cimahi)

Bismillahirrahmanirrahim...

Anak merupakan titipan dari Tuhan. Kehadiran anak diharapkan dapat mendatangkan kebahagiaan, yakni ketika anak tumbuh menjadi anak yang baik dan berperilaku sesuai dengan norma. Harapan-harapan itu muncul secara alami sejak anak lahir, kemudian seiring berjalannya waktu, anak tumbuh menjadi individu yang mampu menerima input dari luar dirinya. Pada keadaan inilah mulai muncul permasalahan-permasalahan yang secara tidak langsung melunturkan harapan orang tua. Ketika anak mulai tidak terkendali, kehadiran anak bukan lagi mendatangkan kebahagian malah jutru dianggap malapetaka. Faktor terpenting yang menentukan tumbuh kembang anak, apakah menjadi kebahagiaan atau "malapetaka" tergantung pada pola asuh yang diterapkan orang tua. Pola asuh yang tepat adalah ketika orang tua dapat memberikan apa yang dibutuhkan anak sesuai dengan fase-fase perkembangannya.

Berikut sekilas fase-fase perkembangan anak usia dini:

Usia Playgroup (2-4 tahun)
Pada usia ini anak berada di fase fisik motorik. Karakteristiknya yaitu mulai mengembangkan fungsi panca indera, mengenal benda sekeliling, serta keinginan menyentuh dan mengenal benda hidup.
Pada fase ini menjadi hal yang wajar ketika anak tidak mau diam sebab fisik motoriknya sedang dan perlu berkembang; yang menjadi tidak wajar adalah ketika pada masa ini anak cenderung pasif dan enggan menggerakkan fungsi motoriknya. Pola pendidikannya dikembangkan dengan 100% bermain. Di masa ini orang tua sebaiknya ikut serta bermain dengan anak sehingga terjalin ikatan emosional yang akan menentukan hubungan orang tua dengan anak sampai dewasa.

Usia TK-A (4-5 tahun)
Pada usia ini anak berada di fase sosial tingkat I. Anak mulai mengenal teman bermain dan mengerti tentang lingkungan kelompok. Pada masa ini anak mulai merasa nyaman dengan teman, guru, atau lingkungan di luar lingkup orangtuanya. Jadi wajar jika pada usia ini anak lebih senang bermain "di luar" dengan teman-temannya; yang menjadi tidak wajar adalah ketika anak tidak mau lepas dari ayah dan ibunya. Pola pendidikan pada masa ini juga dikembangkan dengan 100% bermain dan mulai terbentuk dinamika belajar.

Fase TK-B (5-6 tahun)
Pada usia ini anak berada di fase kreatif tingkat I. Karakteristiknya yaitu anak belajar merespon cepat; satu stimulus yang diberikan kepada anak dapat menghasilkan banyak respon dengan tempo cepat. Anak mulai menerapkan kebiasaan baik, seperti menyimpan barang pada tempatnya, membereskan kembali mainannya, atau mengenakan sendiri pakaiannya. Pola pendidikannya dikembangkan dengan 25% belajar dan 75% bermain.
Pada fase ini orang tua dapat menerapkan jam belajar di rumah dengan durasi sesuai fokus anak antara 5-10 menit. Penerapan jam belajar ini ada syaratnya, yaitu membuat anak bahagia dan senang saat belajar, serta yang terpenting tidak ada unsur paksaan. Pemaksaan belajar pada anak usia ini dapat  menyebabkan trauma belajar. Minta persetujuan anak tentang kesediaannya untuk belajar, serta mulai dengan pembelajaran apa yang disukai dan diinginkan anak. Membangun pondasi "senang belajar" ini terjadi sejak anak usia TK-B sampai kelas tiga SD.

Permasalahan pokok yang seringkali muncul pada anak, diantaranya:

1. Out of Law (Kecenderungan Melanggar aturan)
Pada dasarnya sudut pandang anak tidak sama dengan sudut pandang orang tua. Sehingga apa yang menurut orang tua baik, akan dianggap sebagai hal tidak menyenangkan oleh anak, begitupun sebaliknya.
Pada permasalahan ini, yang seringkali dikeluhkan oleh orang tua antara lain "anak susah ..." contohnya ketika Mama meminta anaknya untuk mandi, tidak jarang anak menolak dengan keras tapi saat hujan anak malah ingin main air.

2. Bad Habit (Kebiasaan Buruk)
Sejalan dengan karakteristik anak yang selalu ingin mengeksplorasi banyak hal, maka semakin anak dilarang, semakin pula anak tertantang ingin melakukannya, terutama pada perilaku yang seringkali dianggap tidak baik oleh orang tua. Jika perilaku seperti ini terus berulang maka akan menjadi kebiasaan. Namun pada umumnya, seiring bertambah usia kebiasaan buruk ini akan berkurang.
Pada permasalahan ini, yang seringkali dikeluhkan oleh orang tua antara lain, "anak suka ..." contohnya "anak suka mengganggu teman atau anak suka main game"

3. Mal Adjustment (Penyimpangan Perilaku)
Penyimpangan perilaku pada anak bukan hanya tentang penyimpangan tertentu seperti memakan benda-benda yang tidak lazim, tetapi juga terkait fase perkembangan anak. Contohnya pada masa seharusnya anak aktif bergerak tetapi yang terjadi malah sebaliknya, anak cenderung pasif dan menarik diri maka ada penyimpangan perilaku di sini. Atau ketika anak bertengkar dengan temannya, ini merupakan hal wajar karena karakteristik anak yang memang memiliki ego tinggi. Umumnya pertengkaran antara anak-anak hanya terjadi seketika saja, beberapa menit kemudian anak akan berbaikan dengan sendirinya. Justru yang tidak wajar adalah ketika anak bertengkar, orangtuanya ikut bertengkar bahkan sampai berlarut-larut 🤭

4. Pause Playing Delay (Masa Bermain Tertunda)
Usia dini (2-6 tahun) adalah masanya anak-anak bermain dengan bahagia. Apabila pada usia ini kebahagiaan dan hak bermain anak direnggut, maka akan timbul permasalahan di kemudian hari.
Penyebab pause playing delay antara lain:
1) Masuk SD sebelum cukup usia. Terdapat peraturan yang menetapkan syarat masuk SD harus berusia tujuh tahun. Hal ini dikarenakan pola pembelajaran pada tingkat SD tidak sesuai dengan fase perkembangan anak usia di bawah tujuh tahun;
2) Tuntutan belajar saat usia dini. Terdapat stereotip di kalangan orang tua bahwa sekolah TK ditujukan untuk mengajarkan anak baca-tulis-hitung dan setelah lulus TK anak harus bisa. Banyak orang tua yang khawatir bahkan panik ketika anaknya di TK belum bisa membaca, sehingga menuntut anak untuk lebih banyak "belajar" sampai mengorbankan waktu bermainnya. Tuntutan semacam inilah yang bisa menjadi bumerang. Karena merasa masa-masa bermainnya sudah terenggut dulu, maka anak akan melampiaskannya, biasanya terjadi saat anak duduk di kelas tiga atau empat SD. 
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pendidikan anak usia dini (TK) diselenggarakan demi memenuhi kebutuhan anak sesuai fase perkembangannya, serta hanya pada tingkat inilah anak berpeluang untuk menghabiskan masa bermainnya.

⚫ Permasalahan diri sebagai orang tua terkait pengasuhan anak, diantaranya:

1. Minimnya Pengetahuan
Memiliki anak merupakan harapan dan konsekuensi dari pasangan yang menikah. Namun menjadi orang tua bukanlah perkara yang mudah. Kurangnya pengetahuan dan kesiapan seringkali membuat orang tua menjadi kurang sabar dalam menghadapi anak. Tidak sedikit orang tua yang melabeli anaknya "nakal" padahal anak sedang dalam fase perkembangannya. Atau menganggap tidak ada masalah pada anaknya sebab anaknya tampak "terlalu baik" padahal terdapat penyimpangan perilaku pada fase perkembangannya. Pada kenyataannya menjadi orang tua tidak berarti menjadikan kita tahu segalanya, sebab kita juga masih perlu belajar banyak tentang pengasuhan anak yang baik seiring dengan zaman yang bekembang, teknologi berkembang, informasi berkembang, serta pola pengasuhan yang juga berkembang.

2. Manipulatif
Beberapa orang tua tidak mau repot mengatasi tingkah laku anak yang terkadang sulit dikendalikan sehingga lebih memilih cara instan dengan memberikan manipulasi-manipulasi dalam pengasuhan. Contohnya ketika anak rewel atau tidak mau diam, orang tua menjadi "pusing" kemudian memberikan gawai pada anak dan pada akhirnya anak  menjadi ketergantungan bermain gawai.
Atau orang tua enggan membereskan dan greget ketika anaknya makan sendiri sampai berantakan sehingga memilih untuk menyuapi. Pada akhirnya selain anak jadi ketergantungan (tidak mau makan jika tidak disuapi), fungsi motoriknya juga menjadi tidak berkembang.
Dengan dalih "demi kebaikan anak" justru yang terjadi adalah demi kenyamanan dirinya sendiri, artinya menjadi orang tua yang egois. Terlalu sering memanipulasi anak akan menyebabkan hambatan pada perkembangan anak. Pada dasarnya anak terlahir mandiri.
Contoh lainnya, saat mencoret-coret tembok, anak sedang mengembangkan fungsi motoriknya. Namun hal ini seringkali membuat kesal karena dianggap mengotori, akhirnya orang tua memanipulasi anak dengan memberikan kertas, gawai lagi, atau bahkan melarang "mencoret-coret". Imbasnya, tidak heran jika anak kesulitan belajar menulis atau bahkan tidak bisa memegang pensil dengan baik sebab motorik anak tidak terlatih karena "dilarang". 

3. Kekerasan
Masalah ini berkaitan dengan minimnya pengetahuan. Kurangnya pengetahuan menjadikan diri kurang sabar, sehingga emosi mudah tersulut. Emosi negatif yang tidak terkendali tidak jarang diluapkan dalam bentuk kekerasan. Kekerasan pada anak tidak hanya sebatas kekerasan fisik seperti mencubit, memukul, atau perilaku kasar lainnya, tetapi juga ada dalam bentuk verbal dan psikis lewat ucapan dan penelantaran. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa bentakan orang tua dapat mengakibatkan banyak sel otak anak terputus. Terlalu sering membentak, mengucapkan kata-kata yang buruk, atau memberi label negatif pada anak akan sangat mempengaruhi perkembangan psikis dan emosi anak.

4. Kurang Bisa Menyampaikan Pesan Sayang
Kesalahan komunikasi dari orang tua akan menyebabkan kebingungan bagi anak. Pesan sayang yang tidak disampaikan dengan baik tidak bisa ditangkap dengan baik juga oleh anak, bisa jadi yang ada malah kesan negatifnya saja. Contohnya ketika anak pulang terlambat, orang tua yang terlalu khawatir cenderung mengungkapkan pesan sayangnya dengan omelan, maka yang kemudian bisa ditangkap oleh anak hanya kesan tentang orang tuanya cerewet. Contoh lainnya ketika anak jatuh, beberapa orang tua secara spontan akan berteriak, "Aduh! Mama bilang juga jangan lari-lari!" Di sini Si Mama bermaksud menyampaikan pesan sayangnya, tetapi karena penyampaiannya kurang tepat, kesan yang bisa ditangkap oleh anak adalah "Mama Galak".

Permasalahan-permasalahan yang terjadi antara anak dan orang tua inilah yang menyebabkan miskomunikasi. Miskomunikasi yang terjadi menimbulkan kebingungan dalam pola asuh. Kebingungan ini yang mendasari orang tua melakukan manipulasi, dan manipulasi yang dilakukan orang tua menyebabkan penderitaan bagi anak. Penderitaan ini mendorong anak untuk mencari kompensasi yang mempengaruhi tingkah laku yang nampak (outter) seperti empat masalah pokok anak seperti di atas, juga kompensasi yang mempengaruhi perkembangan dalam diri anak (inner) yang meliputi intelektual, motivasi dan emosi diri.

Sedemikian berpengaruhnya pola asuh orang tua tehadap tumbuh kembang anak. Sebab pola asuh yang diterapkan pada anak sejak usia dini akan terbawa sampai anak dewasa. Bahkan sampai ketika anak mempunyai keturunan, ia akan memiliki kecenderungan menerapkan pola asuh yang sama. Tidak mudah memang menjadi orang tua, untuk itu perlu bijak dalam menerapkan pola asuh, dimulai dari mencari tahu tentang kebutuhan anak pada setiap fase perkembangannya, memberikan pembelajaran kepada anak sesuai porsinya, sabar menerima kondisi anak dengan segala tingkah lakunya, dan rendah hati untuk mau terus belajar pengetahuan baru terkait pengasuhan anak.

Semoga kita semua selalu diberi petunjuk dan kemudahan dalam mendidik dan mengasuh anak yang telah dititipkan oleh Tuhan Yang Mahaesa. Serta semoga anak-anak kita diberkahi sebagai anak yang saleh dan qurrota a'yun.
Aamiin yaa rabbal'alamin...

Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariq.
 

Cimahi, 3 Desember 2021
Fitria Wulandari

Baca juga tulisan serupa

Rabu, 14 Juli 2021

Yang Menghilang Tak Lagi Pulang

Tamu menyapa tanpa disebut
Tak satupun mau menyambut
Bertandang tanpa diundang
Tanpa tanda tak bisa dihadang

Tak kuasa akui fakta
Ketika yang nyata menjelma fana
Waktu terhenti menyisakan duka
Dan dunia ternyata bukan apa-apa

Seketika tawa seakan direnggut
Kenangan melintas serupa kabut
Lalu nama-nama berkumandang
Dan yang menghilang tak lagi pulang

Kepergian memaksa direlakan
Sisakan sesal yang tak lenyap oleh ratapan
Hingga segala kepedihan dan rindu 
Hanya diredam dalam doa yang kelu.

"Allahummaghfirlahum, warhamhum"

Kamis, 17 Juni 2021

Tentang Penilaian Orang Lain, Itu Bukan Tanggungjawabmu

Kubilang pada diriku:
"Dirimu dididik bertahun-tahun oleh orang tuamu, dibentuk oleh lingkungan sekitarmu, dan menjadi teguh oleh prinsipmu.
Dirimu tidak ditanam berdasarkan pandangan orang lain, dan tidak dipupuk oleh kecurigaan orang lain, jadi tidak perlu acuh jika disiram oleh penilaian orang lain.
Pada dasarnya manusia hanya bisa melihat apa yang ingin mereka lihat. Barangkali orang lain menilaimu sekadar berdasarkan beberapa persen yang mereka lihat dari dirimu, atau malah hanya timbul dari sebuah kecurigaan.
Kamu lebih tahu tentang bagaimana kerja keras, rasa sakit, keringat, dan air mata yang membentukmu hingga saat ini.
Sehingga kamu hanya perlu bertanggung jawab atas dirimu, dan agamamu. Sementara tentang bagaimana penilaian orang terhadapmu, itu bukan tanggungjawabmu, sebab bukan kapasitasmu mengatur hati orang lain.
Kamu mungkin tidak pandai menghafal dalil-dalil moral atau agama, tapi setidaknya kamu pernah mempelajarinya, sehingga secara tidak langsung itu yang membuatmu punya prinsip.
Selama kamu hidup dengan memegang prinsipmu, kamu hanya perlu menjalani hidup dengan niat baik, mengenyahkan segala prasangka, kebencian, serta kedengkian, kamu tidak pantas menyerah hanya karena penilaian orang lain.
Kamu tidak perlu sibuk menggiring opini, membangun imej, apalagi sampai bermuka dua untuk menarik simpati orang lain, sebab manusia hanya bisa melihat apa yang ingin mereka lihat. Dan sejatinya, kamu tidak membutuhkan pembelaan dari manusia lain. Sebab pada waktunya nanti, tanganmu, kakimu, matamu, dan telingamu yang akan bersaksi; pada waktu ketika hanya tuhanmu yang berhak menghakimi.
Kamu hanya perlu bersikap baik demi dirimu dan karena tuhanmu. Bukan demi terlihat baik oleh orang lain. Sebab, seberapa pun indahnya bunga yang kamu tunjukkan, orang yang dalam benaknya terselip setitik pikiran negatif hanya akan melihat duri pada tangkainya.
Kamu yang paling mengetahui dirimu, jadi hiduplah dengan baik sebagai dirimu. Dan soal penilaian orang tentang dirimu, jadikan pembelajaran. Sebab kamu sangat tidak pantas menyerah hanya karena hal itu.
Ingat kata Gus Dur, 'Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian orang lain, dia masih hamba amatiran.'
So... Just love yourself 🤟"

Jumat, 15 Januari 2021

Dilematik Sekolah Daring

Sudah sebelas bulan terhitung sejak Februari 2020, namun masa pandemi di Indonesia nampaknya belum akan mereda dalam waktu dekat. Peraturan demi peraturan baru kembali dicanangkan dengan harapan dapat menekan angka penularan virus yang belum kunjung ditemukan penawarnya. Sama halnya dengan pembatasan sosial di lingkungan industri dan perkantoran yang mengurangi jam kerja secara langsung, kegiatan belajar mengajar di sekolah juga mengalami dampak yang mewajibkan setiap sekolah terpaksa "ditutup".

Sistem pembelajaran sekolah secara daring kemudian dipilih sebagai solusi alternatif, supaya proses belajar mengajar tetap dapat dilaksanakan di tengah upaya pencegahan penyebaran virus. Namun di sisi lain, model pembelajaran yang dilakukan tanpa tatap muka tersebut menimbulkan problematika tersendiri, terlebih pada tingkat pendidikan dasar dan kanak-kanak. Selain kendala teknis yang berkaitan dengan media komunikasi, efektifitas sekolah daring juga kiranya terkendala oleh faktor-faktor non-teknis sebab pada usia dasar tersebut, anak-anak cenderung membutuhkan didikan yang dilakukan dengan lebih intensif.

Sistem pembelajaran yang tidak diselenggarakan di sekolah menjadikan rumah sebagai pusat kegiatan siswa. Tanggung jawab akan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan ilmu yang diperoleh peserta didik juga ikut ditanggungkan kepada orang rumah. Memang pada dasarnya pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua dan guru, namun pembelajaran daring ini membuat orang tua lebih intens dalam mengontrol proses belajar anaknya dengan "ikut bersekolah".

Mengembalikan Fitrah Al-Ummu Madrasatul-Ula

Sudah menjadi pandangan umum bahwa pendidikan yang pertama dan utama berasal dari lingkungan terdekat yakni keluarga. Terlebih masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ibu sebagai pusat pembelajaran pertama bagi anak. Dampak positif dari sekolah daring salah satunya adalah "mengembalikan" fitrah tersebut kepada para ibu atau orang tua di rumah agar lebih maksimal dalam mendidik anak-anaknya. Dalam tugas rumah tambahan ini juga terdapat hal positif dimana orang tua dapat memantau secara langsung sampai mana kemampuan anaknya dalam menerima pembelajaran, serta lebih membangun kedekatan dan mempererat ikatan orang tua dengan anak.

Di sisi lain, dalam konsep ini kiranya perlu juga mempertimbangkan kondisi emosional dan psikologis orang rumah terutama ibu. Double burden yang seringkali dilimpahkan kepada para ibu membuatnya harus memiliki kemampuan multitasking. Hal tersebut terkadang menjadi tekanan lebih bagi seorang ibu, sehingga tidak jarang akibat kurangnya kemampuan mengendalikan emosi saat mendampingi anaknya sekolah daring, malah menjadi bumerang terhadap hubungan ibu-anak. Imbasnya antara lain timbul kesalahan komunikasi yang disebabkan faktor emosional, bahkan tidak jarang dijumpai kasus kekerasan dalam mendidik anak. Keadaan itu bisa terjadi salah satunya dikarenakan kurang terperhatikannya kondisi psikis ibu. Untuk itu, guna meminimalisir resiko tersebut, di samping para ibu sendiri perlu melatih diri dalam mengendalikan emosi, dibutuhkan juga dukungan dari berbagai pihak dalam "meringankan beban" ibu, sehingga fitrah al-ummu madrasatul-ula dapat diinternalisasikan dalam lingkungan keluarga.

Terlepas dari segala kekurangan atau kelebihannya, kita tidak bisa menghakimi cara seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya.

Dilema Orang Tua Pencari Nafkah

Salah satu konsekuensi pembelajaran yang dilakukan secara daring yakni "memaksa" orang tua untuk mau-tidak mau harus "ikut sekolah". Partisipasi orang tua ataupun orang rumah sangat dibutuhkan dalam terselenggaranya sekolah daring. Hal ini mengharuskan orang tua untuk meluangkan waktu khusus supaya anaknya tetap bisa mengikuti pembelajaran sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak sekolah.

Selain disibukkan oleh pekerjaan domestik, mengurus lebih dari satu anak yang juga bersekolah daring, serta urusan rumah tangga lainnya yang harus diselesaikan, terdapat kendala tersendiri bagi anak-anak yang orang tuanya merupakan pencari nafkah. Jam kerja yang berbarengan dengan jam sekolah anak membuat salah satunya harus mengalah atau malah mengorbankan waktu masing-masing. Beberapa anak yang orang tuanya bekerja harus menunda pembelajaran, terlebih dalam hal penyetoran tugas karena menunggu berakhirnya jam kerja. Di sisi lain, sesampainya di rumah, orang tua yang sudah lelah bekerja harus "buru-buru" membimbing anaknya dalam menyelesaikan tugas sekolah sebab deadline yang telah terlewat.

Tentunya kita tidak bisa menjadikan permasalahan semacam ini sebagai alasan untuk menjustifikasi orang tua terutama ibu yang bekerja. Sebab selain untuk membantu memenuhi kebutuhan finansial rumah tangga, di samping perannya sebagai seorang ibu, perempuan juga manusia yang memiliki kebutuhan aktualisasi diri dimana mereka butuh untuk mengembangkan bakat dan karirnya. Terlepas dari beban gandanya itu, tentunya para orang tua pencari nafkah akan tetap berusaha sebaik mungkin untuk bertanggung jawab terhadap urusan domestik, profesional dalam bekerja, dan terutama kepenuh-hatian mendidik anaknya. Oleh karena itu, diperlukan saling pengertian antara anak dan orang tua, serta masyarakat termasuk guru sekolah.

Dilema Guru: Tanggung Jawab Nurani untuk Menyampaikan Ilmu dan Kewajiban Terkait Kedinasan

Proses belajar mengajar yang dilakukan secara daring tidak hanya menimbulkan polemik di dalam sistem peraturannya atau permasalahan teknis lainnya, tetapi juga memunculkan dilema bagi subjek dan objek pembelajarnya. Pada sekolah daring, orang rumah sebagai pembimbing langsung, serta guru sebagai subjek pendidik yang memberikan materi memiliki permasalahan masing-masing. Kewajiban guru adalah memberikan ilmu dan pengetahuan baru kepada murid-muridnya. Dalam hal ini, guru memiliki tanggung jawab tentang bagaimana anak didiknya mampu berkembang dan menyerap pembelajaran dengan baik sehingga dapat mengimplementasikan kemampuannya sampai dewasa nanti.

Di sisi lain, tuntutan dinas untuk memenuhi standar kompetensi dalam kurikulum yang diterapkan, menjadi PR tersendiri bagi para guru yang seringkali terbentur serangkaian kendala ketika pembelajaran dilakukan secara daring. Di samping kendala yang berhubungan dengan penggunaan teknologi komunikasi modern, kewajiban untuk memenuhi standar kompetensi, serta perkara-perkara teknis terkait kedinasan lainnya, tidak jarang membuat beberapa guru mengajar sebatas untuk memenuhi tugas menyampaikan materi bahan ajar, sebab kurang memadainya situasi dan kondisi serta kapasitas untuk memantau paham-tidaknya siswa terhadap materi yang telah disampaikan, misalnya dikarenakan waktu pembelajaran yang singkat.

Namun hal tersebut tidak bisa dijadikan generalisasi hingga memunculkan justifikasi bahwa guru hanya mengajar sebagai formalitas. Ditengah kondisi sekolah daring yang tidak memadai serta efektifitasnya terkendala, dan terlepas dari segala tuntutan yang ada, pastinya setiap guru akan berusaha mengajar sebaik mungkin dengan harapan anak didiknya mampu berkembang secara maksimal dan tumbuh menjadi orang-orang hebat.

Diantara berbagai permasalahan dan konsekuensinya, proses belajar mengajar dari rumah masing-masing dilakukan agar para siswa tetap dapat memenuhi kebutuhan pendidikan dan haknya untuk mendapatkan ilmu yang layak, ditengah keadaan yang mengharuskan orang-orang saling menjaga jarak aman. Barangkali ada berbagai alternatif lain yang akan mampu menunjang stabilitas dunia pendidikan di tengah pandemi, namun kiranya penyelenggaraan sekolah daring dipilih atas dasar kebaikan dan diharapkan mampu mendatangkan kebaikan pula. Tentunya kebaikan tersebut tidak akan diperoleh secara maksimal tanpa keterlibatan berbagai pihak yang berusaha dengan maksimal pula.

Semoga pandemi ini segera berakhir, berbagai kesuraman segera sirna, dan dunia bisa kembali baik-baik saja. Segala kebaikan dan kebenaran datangnya dari Tuhan yang Maha Esa...

Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariq 

Cimahi, 13 Januari 2021

Kamis, 14 Januari 2021

Balada Tahun Tak Terkata

Dua ribu dua puluh menjadi tahun tak terkata. Tidak banyak hal baru yang diraih, malah kami dipaksa untuk melepas. Impian-impian yang diharapkan, resolusi di awal tahun, serta rencana rencana yang sudah dirancang, menjadi perkara yang harus ditunda atau malah terpaksa dikubur dalam-dalam.

Dua ribu dua puluh adalah tahun tak terkata. Dibuka dengan derasnya hujan yang menyebabkan genangan banjir membludak dimana-mana, disusul oleh wabah penyakit jenis baru yang membutuhkan waktu lama untuk reda. Banyak hal yang harus direlakan membuat kami dipaksa untuk belajar tentang melepas kehilangan.

Dua ribu dua puluh merupakan tahun tak terkata. Beberapa pekerja terpaksa kehilangan mata pencaharian, kebutuhan sosial masyarakat dibatasi sebab pandemi, ekonomi seakan dikebiri, hingga manusia dihadapkan dengan puncak kehilangan berupa kematian.

Dua ribu dua puluh itu tahun tak terkata. Banyak duka, luka, dan kecewa, hingga hari-hari seakan berlalu begitu saja, juga maut yang seolah dipercepat. Ini tahun tak terkata, yang dibuka dengan sambutan paling haru, kemudian ditutup oleh kisah yang pilu.

Namun di balik segala suram, seperti ungkapan Gus Candra Malik, "Betapa pun fana, dunialah kini rumah kita". Di tahun tak terkata ini, ada begitu banyak hikmah yang bisa dipetik.

Cimahi, 16 Desember  2020