Resume kegiatan Parenting Day
Kamis & Jumat, 2 & 3 Desember 2021
Di RA Al-Akhyar
Oleh Bapak Budi Rahayu (Grahita Indonesia Cimahi)
Bismillahirrahmanirrahim...
Anak merupakan titipan dari Tuhan. Kehadiran anak diharapkan dapat mendatangkan kebahagiaan, yakni ketika anak tumbuh menjadi anak yang baik dan berperilaku sesuai dengan norma. Harapan-harapan itu muncul secara alami sejak anak lahir, kemudian seiring berjalannya waktu, anak tumbuh menjadi individu yang mampu menerima input dari luar dirinya. Pada keadaan inilah mulai muncul permasalahan-permasalahan yang secara tidak langsung melunturkan harapan orang tua. Ketika anak mulai tidak terkendali, kehadiran anak bukan lagi mendatangkan kebahagian malah jutru dianggap malapetaka. Faktor terpenting yang menentukan tumbuh kembang anak, apakah menjadi kebahagiaan atau "malapetaka" tergantung pada pola asuh yang diterapkan orang tua. Pola asuh yang tepat adalah ketika orang tua dapat memberikan apa yang dibutuhkan anak sesuai dengan fase-fase perkembangannya.
⚫ Berikut sekilas fase-fase perkembangan anak usia dini:
• Usia Playgroup (2-4 tahun)
Pada usia ini anak berada di fase fisik motorik. Karakteristiknya yaitu mulai mengembangkan fungsi panca indera, mengenal benda sekeliling, serta keinginan menyentuh dan mengenal benda hidup.
Pada fase ini menjadi hal yang wajar ketika anak tidak mau diam sebab fisik motoriknya sedang dan perlu berkembang; yang menjadi tidak wajar adalah ketika pada masa ini anak cenderung pasif dan enggan menggerakkan fungsi motoriknya. Pola pendidikannya dikembangkan dengan 100% bermain. Di masa ini orang tua sebaiknya ikut serta bermain dengan anak sehingga terjalin ikatan emosional yang akan menentukan hubungan orang tua dengan anak sampai dewasa.
• Usia TK-A (4-5 tahun)
Pada usia ini anak berada di fase sosial tingkat I. Anak mulai mengenal teman bermain dan mengerti tentang lingkungan kelompok. Pada masa ini anak mulai merasa nyaman dengan teman, guru, atau lingkungan di luar lingkup orangtuanya. Jadi wajar jika pada usia ini anak lebih senang bermain "di luar" dengan teman-temannya; yang menjadi tidak wajar adalah ketika anak tidak mau lepas dari ayah dan ibunya. Pola pendidikan pada masa ini juga dikembangkan dengan 100% bermain dan mulai terbentuk dinamika belajar.
• Fase TK-B (5-6 tahun)
Pada usia ini anak berada di fase kreatif tingkat I. Karakteristiknya yaitu anak belajar merespon cepat; satu stimulus yang diberikan kepada anak dapat menghasilkan banyak respon dengan tempo cepat. Anak mulai menerapkan kebiasaan baik, seperti menyimpan barang pada tempatnya, membereskan kembali mainannya, atau mengenakan sendiri pakaiannya. Pola pendidikannya dikembangkan dengan 25% belajar dan 75% bermain.
Pada fase ini orang tua dapat menerapkan jam belajar di rumah dengan durasi sesuai fokus anak antara 5-10 menit. Penerapan jam belajar ini ada syaratnya, yaitu membuat anak bahagia dan senang saat belajar, serta yang terpenting tidak ada unsur paksaan. Pemaksaan belajar pada anak usia ini dapat menyebabkan trauma belajar. Minta persetujuan anak tentang kesediaannya untuk belajar, serta mulai dengan pembelajaran apa yang disukai dan diinginkan anak. Membangun pondasi "senang belajar" ini terjadi sejak anak usia TK-B sampai kelas tiga SD.
⚫ Permasalahan pokok yang seringkali muncul pada anak, diantaranya:
1. Out of Law (Kecenderungan Melanggar aturan)
Pada dasarnya sudut pandang anak tidak sama dengan sudut pandang orang tua. Sehingga apa yang menurut orang tua baik, akan dianggap sebagai hal tidak menyenangkan oleh anak, begitupun sebaliknya.
Pada permasalahan ini, yang seringkali dikeluhkan oleh orang tua antara lain "anak susah ..." contohnya ketika Mama meminta anaknya untuk mandi, tidak jarang anak menolak dengan keras tapi saat hujan anak malah ingin main air.
2. Bad Habit (Kebiasaan Buruk)
Sejalan dengan karakteristik anak yang selalu ingin mengeksplorasi banyak hal, maka semakin anak dilarang, semakin pula anak tertantang ingin melakukannya, terutama pada perilaku yang seringkali dianggap tidak baik oleh orang tua. Jika perilaku seperti ini terus berulang maka akan menjadi kebiasaan. Namun pada umumnya, seiring bertambah usia kebiasaan buruk ini akan berkurang.
Pada permasalahan ini, yang seringkali dikeluhkan oleh orang tua antara lain, "anak suka ..." contohnya "anak suka mengganggu teman atau anak suka main game"
3. Mal Adjustment (Penyimpangan Perilaku)
Penyimpangan perilaku pada anak bukan hanya tentang penyimpangan tertentu seperti memakan benda-benda yang tidak lazim, tetapi juga terkait fase perkembangan anak. Contohnya pada masa seharusnya anak aktif bergerak tetapi yang terjadi malah sebaliknya, anak cenderung pasif dan menarik diri maka ada penyimpangan perilaku di sini. Atau ketika anak bertengkar dengan temannya, ini merupakan hal wajar karena karakteristik anak yang memang memiliki ego tinggi. Umumnya pertengkaran antara anak-anak hanya terjadi seketika saja, beberapa menit kemudian anak akan berbaikan dengan sendirinya. Justru yang tidak wajar adalah ketika anak bertengkar, orangtuanya ikut bertengkar bahkan sampai berlarut-larut 🤭
4. Pause Playing Delay (Masa Bermain Tertunda)
Usia dini (2-6 tahun) adalah masanya anak-anak bermain dengan bahagia. Apabila pada usia ini kebahagiaan dan hak bermain anak direnggut, maka akan timbul permasalahan di kemudian hari.
Penyebab pause playing delay antara lain:
1) Masuk SD sebelum cukup usia. Terdapat peraturan yang menetapkan syarat masuk SD harus berusia tujuh tahun. Hal ini dikarenakan pola pembelajaran pada tingkat SD tidak sesuai dengan fase perkembangan anak usia di bawah tujuh tahun;
2) Tuntutan belajar saat usia dini. Terdapat stereotip di kalangan orang tua bahwa sekolah TK ditujukan untuk mengajarkan anak baca-tulis-hitung dan setelah lulus TK anak harus bisa. Banyak orang tua yang khawatir bahkan panik ketika anaknya di TK belum bisa membaca, sehingga menuntut anak untuk lebih banyak "belajar" sampai mengorbankan waktu bermainnya. Tuntutan semacam inilah yang bisa menjadi bumerang. Karena merasa masa-masa bermainnya sudah terenggut dulu, maka anak akan melampiaskannya, biasanya terjadi saat anak duduk di kelas tiga atau empat SD.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pendidikan anak usia dini (TK) diselenggarakan demi memenuhi kebutuhan anak sesuai fase perkembangannya, serta hanya pada tingkat inilah anak berpeluang untuk menghabiskan masa bermainnya.
⚫ Permasalahan diri sebagai orang tua terkait pengasuhan anak, diantaranya:
1. Minimnya Pengetahuan
Memiliki anak merupakan harapan dan konsekuensi dari pasangan yang menikah. Namun menjadi orang tua bukanlah perkara yang mudah. Kurangnya pengetahuan dan kesiapan seringkali membuat orang tua menjadi kurang sabar dalam menghadapi anak. Tidak sedikit orang tua yang melabeli anaknya "nakal" padahal anak sedang dalam fase perkembangannya. Atau menganggap tidak ada masalah pada anaknya sebab anaknya tampak "terlalu baik" padahal terdapat penyimpangan perilaku pada fase perkembangannya. Pada kenyataannya menjadi orang tua tidak berarti menjadikan kita tahu segalanya, sebab kita juga masih perlu belajar banyak tentang pengasuhan anak yang baik seiring dengan zaman yang bekembang, teknologi berkembang, informasi berkembang, serta pola pengasuhan yang juga berkembang.
2. Manipulatif
Beberapa orang tua tidak mau repot mengatasi tingkah laku anak yang terkadang sulit dikendalikan sehingga lebih memilih cara instan dengan memberikan manipulasi-manipulasi dalam pengasuhan. Contohnya ketika anak rewel atau tidak mau diam, orang tua menjadi "pusing" kemudian memberikan gawai pada anak dan pada akhirnya anak menjadi ketergantungan bermain gawai.
Atau orang tua enggan membereskan dan greget ketika anaknya makan sendiri sampai berantakan sehingga memilih untuk menyuapi. Pada akhirnya selain anak jadi ketergantungan (tidak mau makan jika tidak disuapi), fungsi motoriknya juga menjadi tidak berkembang.
Dengan dalih "demi kebaikan anak" justru yang terjadi adalah demi kenyamanan dirinya sendiri, artinya menjadi orang tua yang egois. Terlalu sering memanipulasi anak akan menyebabkan hambatan pada perkembangan anak. Pada dasarnya anak terlahir mandiri.
Contoh lainnya, saat mencoret-coret tembok, anak sedang mengembangkan fungsi motoriknya. Namun hal ini seringkali membuat kesal karena dianggap mengotori, akhirnya orang tua memanipulasi anak dengan memberikan kertas, gawai lagi, atau bahkan melarang "mencoret-coret". Imbasnya, tidak heran jika anak kesulitan belajar menulis atau bahkan tidak bisa memegang pensil dengan baik sebab motorik anak tidak terlatih karena "dilarang".
3. Kekerasan
Masalah ini berkaitan dengan minimnya pengetahuan. Kurangnya pengetahuan menjadikan diri kurang sabar, sehingga emosi mudah tersulut. Emosi negatif yang tidak terkendali tidak jarang diluapkan dalam bentuk kekerasan. Kekerasan pada anak tidak hanya sebatas kekerasan fisik seperti mencubit, memukul, atau perilaku kasar lainnya, tetapi juga ada dalam bentuk verbal dan psikis lewat ucapan dan penelantaran. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa bentakan orang tua dapat mengakibatkan banyak sel otak anak terputus. Terlalu sering membentak, mengucapkan kata-kata yang buruk, atau memberi label negatif pada anak akan sangat mempengaruhi perkembangan psikis dan emosi anak.
4. Kurang Bisa Menyampaikan Pesan Sayang
Kesalahan komunikasi dari orang tua akan menyebabkan kebingungan bagi anak. Pesan sayang yang tidak disampaikan dengan baik tidak bisa ditangkap dengan baik juga oleh anak, bisa jadi yang ada malah kesan negatifnya saja. Contohnya ketika anak pulang terlambat, orang tua yang terlalu khawatir cenderung mengungkapkan pesan sayangnya dengan omelan, maka yang kemudian bisa ditangkap oleh anak hanya kesan tentang orang tuanya cerewet. Contoh lainnya ketika anak jatuh, beberapa orang tua secara spontan akan berteriak, "Aduh! Mama bilang juga jangan lari-lari!" Di sini Si Mama bermaksud menyampaikan pesan sayangnya, tetapi karena penyampaiannya kurang tepat, kesan yang bisa ditangkap oleh anak adalah "Mama Galak".
Permasalahan-permasalahan yang terjadi antara anak dan orang tua inilah yang menyebabkan miskomunikasi. Miskomunikasi yang terjadi menimbulkan kebingungan dalam pola asuh. Kebingungan ini yang mendasari orang tua melakukan manipulasi, dan manipulasi yang dilakukan orang tua menyebabkan penderitaan bagi anak. Penderitaan ini mendorong anak untuk mencari kompensasi yang mempengaruhi tingkah laku yang nampak (outter) seperti empat masalah pokok anak seperti di atas, juga kompensasi yang mempengaruhi perkembangan dalam diri anak (inner) yang meliputi intelektual, motivasi dan emosi diri.
Sedemikian berpengaruhnya pola asuh orang tua tehadap tumbuh kembang anak. Sebab pola asuh yang diterapkan pada anak sejak usia dini akan terbawa sampai anak dewasa. Bahkan sampai ketika anak mempunyai keturunan, ia akan memiliki kecenderungan menerapkan pola asuh yang sama. Tidak mudah memang menjadi orang tua, untuk itu perlu bijak dalam menerapkan pola asuh, dimulai dari mencari tahu tentang kebutuhan anak pada setiap fase perkembangannya, memberikan pembelajaran kepada anak sesuai porsinya, sabar menerima kondisi anak dengan segala tingkah lakunya, dan rendah hati untuk mau terus belajar pengetahuan baru terkait pengasuhan anak.
Semoga kita semua selalu diberi petunjuk dan kemudahan dalam mendidik dan mengasuh anak yang telah dititipkan oleh Tuhan Yang Mahaesa. Serta semoga anak-anak kita diberkahi sebagai anak yang saleh dan qurrota a'yun.
Aamiin yaa rabbal'alamin...
Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariq.
Cimahi, 3 Desember 2021
Fitria Wulandari
Baca juga tulisan serupa