Sudah sebelas bulan terhitung sejak Februari 2020, namun masa pandemi di Indonesia nampaknya belum akan mereda dalam waktu dekat. Peraturan demi peraturan baru kembali dicanangkan dengan harapan dapat menekan angka penularan virus yang belum kunjung ditemukan penawarnya. Sama halnya dengan pembatasan sosial di lingkungan industri dan perkantoran yang mengurangi jam kerja secara langsung, kegiatan belajar mengajar di sekolah juga mengalami dampak yang mewajibkan setiap sekolah terpaksa "ditutup".
Sistem pembelajaran sekolah secara daring kemudian dipilih sebagai solusi alternatif, supaya proses belajar mengajar tetap dapat dilaksanakan di tengah upaya pencegahan penyebaran virus. Namun di sisi lain, model pembelajaran yang dilakukan tanpa tatap muka tersebut menimbulkan problematika tersendiri, terlebih pada tingkat pendidikan dasar dan kanak-kanak. Selain kendala teknis yang berkaitan dengan media komunikasi, efektifitas sekolah daring juga kiranya terkendala oleh faktor-faktor non-teknis sebab pada usia dasar tersebut, anak-anak cenderung membutuhkan didikan yang dilakukan dengan lebih intensif.
Sistem pembelajaran yang tidak diselenggarakan di sekolah menjadikan rumah sebagai pusat kegiatan siswa. Tanggung jawab akan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan ilmu yang diperoleh peserta didik juga ikut ditanggungkan kepada orang rumah. Memang pada dasarnya pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua dan guru, namun pembelajaran daring ini membuat orang tua lebih intens dalam mengontrol proses belajar anaknya dengan "ikut bersekolah".
Mengembalikan Fitrah Al-Ummu Madrasatul-Ula
Sudah menjadi pandangan umum bahwa pendidikan yang pertama dan utama berasal dari lingkungan terdekat yakni keluarga. Terlebih masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ibu sebagai pusat pembelajaran pertama bagi anak. Dampak positif dari sekolah daring salah satunya adalah "mengembalikan" fitrah tersebut kepada para ibu atau orang tua di rumah agar lebih maksimal dalam mendidik anak-anaknya. Dalam tugas rumah tambahan ini juga terdapat hal positif dimana orang tua dapat memantau secara langsung sampai mana kemampuan anaknya dalam menerima pembelajaran, serta lebih membangun kedekatan dan mempererat ikatan orang tua dengan anak.
Di sisi lain, dalam konsep ini kiranya perlu juga mempertimbangkan kondisi emosional dan psikologis orang rumah terutama ibu. Double burden yang seringkali dilimpahkan kepada para ibu membuatnya harus memiliki kemampuan multitasking. Hal tersebut terkadang menjadi tekanan lebih bagi seorang ibu, sehingga tidak jarang akibat kurangnya kemampuan mengendalikan emosi saat mendampingi anaknya sekolah daring, malah menjadi bumerang terhadap hubungan ibu-anak. Imbasnya antara lain timbul kesalahan komunikasi yang disebabkan faktor emosional, bahkan tidak jarang dijumpai kasus kekerasan dalam mendidik anak. Keadaan itu bisa terjadi salah satunya dikarenakan kurang terperhatikannya kondisi psikis ibu. Untuk itu, guna meminimalisir resiko tersebut, di samping para ibu sendiri perlu melatih diri dalam mengendalikan emosi, dibutuhkan juga dukungan dari berbagai pihak dalam "meringankan beban" ibu, sehingga fitrah al-ummu madrasatul-ula dapat diinternalisasikan dalam lingkungan keluarga.
Terlepas dari segala kekurangan atau kelebihannya, kita tidak bisa menghakimi cara seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya.
Dilema Orang Tua Pencari Nafkah
Salah satu konsekuensi pembelajaran yang dilakukan secara daring yakni "memaksa" orang tua untuk mau-tidak mau harus "ikut sekolah". Partisipasi orang tua ataupun orang rumah sangat dibutuhkan dalam terselenggaranya sekolah daring. Hal ini mengharuskan orang tua untuk meluangkan waktu khusus supaya anaknya tetap bisa mengikuti pembelajaran sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak sekolah.
Selain disibukkan oleh pekerjaan domestik, mengurus lebih dari satu anak yang juga bersekolah daring, serta urusan rumah tangga lainnya yang harus diselesaikan, terdapat kendala tersendiri bagi anak-anak yang orang tuanya merupakan pencari nafkah. Jam kerja yang berbarengan dengan jam sekolah anak membuat salah satunya harus mengalah atau malah mengorbankan waktu masing-masing. Beberapa anak yang orang tuanya bekerja harus menunda pembelajaran, terlebih dalam hal penyetoran tugas karena menunggu berakhirnya jam kerja. Di sisi lain, sesampainya di rumah, orang tua yang sudah lelah bekerja harus "buru-buru" membimbing anaknya dalam menyelesaikan tugas sekolah sebab deadline yang telah terlewat.
Tentunya kita tidak bisa menjadikan permasalahan semacam ini sebagai alasan untuk menjustifikasi orang tua terutama ibu yang bekerja. Sebab selain untuk membantu memenuhi kebutuhan finansial rumah tangga, di samping perannya sebagai seorang ibu, perempuan juga manusia yang memiliki kebutuhan aktualisasi diri dimana mereka butuh untuk mengembangkan bakat dan karirnya. Terlepas dari beban gandanya itu, tentunya para orang tua pencari nafkah akan tetap berusaha sebaik mungkin untuk bertanggung jawab terhadap urusan domestik, profesional dalam bekerja, dan terutama kepenuh-hatian mendidik anaknya. Oleh karena itu, diperlukan saling pengertian antara anak dan orang tua, serta masyarakat termasuk guru sekolah.
Dilema Guru: Tanggung Jawab Nurani untuk Menyampaikan Ilmu dan Kewajiban Terkait Kedinasan
Proses belajar mengajar yang dilakukan secara daring tidak hanya menimbulkan polemik di dalam sistem peraturannya atau permasalahan teknis lainnya, tetapi juga memunculkan dilema bagi subjek dan objek pembelajarnya. Pada sekolah daring, orang rumah sebagai pembimbing langsung, serta guru sebagai subjek pendidik yang memberikan materi memiliki permasalahan masing-masing. Kewajiban guru adalah memberikan ilmu dan pengetahuan baru kepada murid-muridnya. Dalam hal ini, guru memiliki tanggung jawab tentang bagaimana anak didiknya mampu berkembang dan menyerap pembelajaran dengan baik sehingga dapat mengimplementasikan kemampuannya sampai dewasa nanti.
Di sisi lain, tuntutan dinas untuk memenuhi standar kompetensi dalam kurikulum yang diterapkan, menjadi PR tersendiri bagi para guru yang seringkali terbentur serangkaian kendala ketika pembelajaran dilakukan secara daring. Di samping kendala yang berhubungan dengan penggunaan teknologi komunikasi modern, kewajiban untuk memenuhi standar kompetensi, serta perkara-perkara teknis terkait kedinasan lainnya, tidak jarang membuat beberapa guru mengajar sebatas untuk memenuhi tugas menyampaikan materi bahan ajar, sebab kurang memadainya situasi dan kondisi serta kapasitas untuk memantau paham-tidaknya siswa terhadap materi yang telah disampaikan, misalnya dikarenakan waktu pembelajaran yang singkat.
Namun hal tersebut tidak bisa dijadikan generalisasi hingga memunculkan justifikasi bahwa guru hanya mengajar sebagai formalitas. Ditengah kondisi sekolah daring yang tidak memadai serta efektifitasnya terkendala, dan terlepas dari segala tuntutan yang ada, pastinya setiap guru akan berusaha mengajar sebaik mungkin dengan harapan anak didiknya mampu berkembang secara maksimal dan tumbuh menjadi orang-orang hebat.
Diantara berbagai permasalahan dan konsekuensinya, proses belajar mengajar dari rumah masing-masing dilakukan agar para siswa tetap dapat memenuhi kebutuhan pendidikan dan haknya untuk mendapatkan ilmu yang layak, ditengah keadaan yang mengharuskan orang-orang saling menjaga jarak aman. Barangkali ada berbagai alternatif lain yang akan mampu menunjang stabilitas dunia pendidikan di tengah pandemi, namun kiranya penyelenggaraan sekolah daring dipilih atas dasar kebaikan dan diharapkan mampu mendatangkan kebaikan pula. Tentunya kebaikan tersebut tidak akan diperoleh secara maksimal tanpa keterlibatan berbagai pihak yang berusaha dengan maksimal pula.
Semoga pandemi ini segera berakhir, berbagai kesuraman segera sirna, dan dunia bisa kembali baik-baik saja. Segala kebaikan dan kebenaran datangnya dari Tuhan yang Maha Esa...
Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariq
Cimahi, 13 Januari 2021