Selasa, 06 Mei 2014

Cerpen | Memang Jodoh



Mei 2014
Matahari sudah tergelincir sejak tadi tergantikan oleh sang bulan, jarum jam yang melingkar di tanganku pun telah menunjuk ke angka 7. Ingar bingar dari sebuah kota besar mulai terasa. Beberapa orang di sekitar yang tengah asik bersenda gurau dengan pasangannya masing-masing tidak pula menggoyahkanku untuk beranjak dari bangku yang tengah kutempati ini. Ya, beginilah aku sekarang,  duduk termangu di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan sebuah danau, menatap jauh ke arah depan seraya membiarkan anganku melayang mencoba memutar waktu, menelusuri kembali halaman demi halaman memoriku mengenai apa yang pernah terjadi tentang kami, aku dan dia.

Agustus 2009
Hari ini pertama kalinya aku mengenakan seragam putih-abu, itu menandakan aku sudah sah menjadi salah satu bagian –siswa– di sekolah kejuruan ini. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini, apakah aku harus senang atau malah merasa sedih karena berada di jurusan yang seringkali dipandang remeh oleh orang-orang.
Meskipun sedikit terdengar aneh, tapi bukankah tidak ada salahnya jika seseorang mempunyai mimpi yang tidak masuk akal sekalipun. Bahkan seorang Edison yang dianggap memiliki keterbelakangan pun mampu mewujudkan impiannya yang seringkali ditertawakan oleh orang-orang.

Oktober 2009
Ini bulan ke dua aku mengikuti kegiatan Forum Remaja Islam yang merupakan salah satu ekstrakurikuler yang ada di sekolahku. Aku masuk ke forum ini karena ketertarikanku dalam mempelajari agama Islam, terlebih untuk menambah keimananku. Disamping itu, aku juga sengaja menyibukkan diri untuk mengalihkan kepenatan akibat cibiran orang-orang yang ditujukan kepadaku.
Biasanya aku selalu fokus memperhatikan ketika kakak senior menyampaikan materi, tetapi hari ini tidak seperti itu. Ketika sedang memperhatikan materi yang disampaikan, seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di jajaran senior berhasil membuatku mengalihkan perhatian dari apa yang seharusnya aku perhatikan. Entah mengapa aku begitu tertarik pada lelaki tersebut. Siapa dia? Kenapa aku baru melihatnya? Bermacam pertanyaan muncul di pikiranku. Tanpa sadar aku merasakan ribuan kupu-kupu berterbangan di perutku, dan itu membuat pipiku terasa menghangat. Apakah ini namanya cinta pada pandangan pertama? Ah tidak mungkin, aku hanya merasa penasaran saja kepadanya. Tapi kenapa ini berbeda? Astaga apa yang terjadi padaku. Kenapa mataku seakan menolak perintah otak yang menyuruh untuk berhenti memperhatikan lelaki itu? Untungnya sebelum ketahuan melamun, aku berhasil memusatkan kembali perhatianku pada materi yang disampaikan meskipun separuh pikiranku masih betah pada objek yang membuatnya teralihkan tadi.
Setelah pertemuan forum berakhir Ratna –teman sekelasku– tiba-tiba menghadang langkahku kemudian menatapku dengan pandangan yang menelisik.
“Aku melihat kamu tidak memperhatikan materi yang disampaikan tadi. Kira-kira apa hal yang berhasil mengalihkan perhatianmu?” tuduhnya padaku. Pertanyaan itu membuatku gelagapan seketika. K-kenapa dia bisa mengetahuinya?
“A-aku memperhatikan, kok,” belaku.
“Kamu tidak bisa menyembunyikan sesuatu dariku.” ujarnya semakin mengintimidasi.
“Apakah dia bisa membaca pikiranku, ya? Ah, dia selalu peka jika menyangkut belajar,” batinku.
“Sebenarnya, aku penasaran dengan laki-laki yang tiba-tiba duduk di barisan senior tadi. Apa kamu mengenalnya? Apakah dia senior juga? Tapi kenapa aku baru melihatnya? Apakah dia anggota baru?” tanyaku memberondong.
“Namanya Ibrahim kelas XI Mekatronika. Bahkan aku saja baru melihatnya dua hari yang lalu. Ha, jangan-jangan kamu menyukainya...” jelasnya yang diakhiri dengan menggodaku.
“Tidak, aku hanya ingin tahu saja.” aku membela diri. Dia kemudian tersenyum tidak jelas membuatku tidak mengerti maksud senyuman itu. Kami melanjutkan perjalanan pulang kami.
“Kau tahu, rasa suka berawal dari penasaran,” bisiknya tiba-tiba. Seketika aku merasa kedua pipiku memanas. Jika dihadapanku ada cermin, mungkin aku bisa melihat wajahku memerah layaknya kepiting rebus. Sepertinya aku mulai mengerti maksud senyuman Dewi tadi. Ah, jangan-jangan dia memang bisa membaca pikiranku.

Februari 2010
Berapa waktu yang dibutuhkan untuk memekarkan sebuah kuncup?
Aku tak tahu sejak kapan perasaan itu tumbuh
Aku bahkan tak tahu kenapa aku memperhatikanmu diam-diam
Dan kau tahu, dalam diamku itulah aku mengagumimu

Aku berjalan melewati tempat berupa lorong antar kelas yang berada di sekolah. Ketika melintasi sebuah kelas, aku terdiam sejenak mengamati seseorang yang sedang duduk di salah satu bangku di dalam kelas tersebut. Ya, lelaki yang entah keberapakalinya berhasil mengalihkan perhatianku. Seolah memonopoli duniaku hingga aku tidak dapat untuk tidak menatapnya barang sekejap. Ketika tengah asik memperhatikan “pemandangan” di hadapanku, tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah jendela yang otomatis tertuju langsung padaku. Hal itu membuatku seketika berlari layaknya pencuri yang tertangkap basah.
*****
Sekolah sudah sepi tapi itu tidak mempengaruhiku untuk beranjak dari tempatku. Bersembunyi di balik pohon menatap sesosok tubuh yang tengah terduduk di hamparan rumput sambil bersenandung lirih.
“Apa yang kamu lakukan disana? Apa kamu sering mengendap di balik pohon seperti itu?” ucap lelaki itu tiba-tiba.
Suara itu membuatku tersentak dan –lagi membuatku tertangkap basah tengah mencuri pandang terhadapnya. Mau tidak mau aku pun keluar dari persembunyianku.
“Maaf, kak, aku tidak bermaksud–”
“Kemarilah” dia melambaikan tangannya, memintaku mendekat.
Dengan ragu dan langkah kikuk, aku memenuhi permintaannya. Kini aku duduk disampingnya di atas hamparan rumput. Dia melemparkan senyum manis tanpa aku tahu maksudnya, dan lagi-lagi aku kembali merasakan ribuan kupu-kupu hilir mudik di perutku.
“Apa kakak sengaja membiarkan aku memperhatikan di balik pohon sementara sang objek malah asik menikmati dunianya sendiri?” tanyaku dengan nada bersahabat. Kak Ibrahim memasang wajah bingung yang dibuat-buat.
“Jadi kamu sering memperhatikan aku selama ini?” pertanyaannya membuatku salah tingkah dan semakin merona. Sepertinya pertanyaanku sendirilah yang membuatku masuk ke lubang yang kugali sendiri.
Tanpa menuggu jawaban dariku, dia kembali memandangi langit. Akupun merileks-kan tubuhku dan ikut memandang langit sore yang entah mengapa terasa lebih indah dari biasanya. Apa mungkin karena dia ada di sampingku sehingga menambah kesan indah.
“Akan lebih indah saat langit berubah merah karena senja,” katanya menyadarkan lamunanku.
“Aku tidak pernah melihat langit seindah ini,” ujarku lirih, entah dia mendengar atau tidak. Dia hanya tersenyum.
Keindahan yang kurasakan sekarang membuatku berpikir bahwa jalan yang selama ini aku lalui tidak lain merupakan jalan tebaik yang telah digariskan Tuhan untukku, berada di sekolah ini untuk dipertemukan dengan orang-orang yang ada di sekitarku. Tuhan sengaja mempertemukanku dengan sahabat-sahabatku untuk saling menguatkan. Termasuk lelaki di sampingku yang masih belum juga mengalihkan perhatiannya dari langit sore. Bicara tentang lelaki, sebuah pikiran tiba-tiba terlintas di benakku.
“Kak, apakah tidak apa-apa kita berdua seperti ini?” tanyaku dengan ragu. Alih-alih menjawab, dia malah kembali tersenyum tidak jelas. Mengapa dia sangat hemat untuk mengeluaran kata?
Lumayan lama kami terdiam. Aku terus berusaha mencari topik pembicaraan apa yang bisa mencairkan kesunyian ini, hingga akhirnya terdengar suara beratnya yang mulai memecah keheningan.
“Kamu melihat langit setiap hari dan mereka tidak banyak berubah. Hanya saja, sekarang kamu melihat langit lebih indah karena kamu lebih mensyukuri dan menerima dengan ikhlas apa yang ada di dekatmu. Dan kamu tahu, baru kali ini juga aku merasa jika langit tampak lebih indah dari biasanya.” Ujarnya sambil tersenyum sendiri.
Aku menangakap ada makna khusus dari kalimat terakhirnya. ‘Baru kali ini juga aku merasa langit lebih indah dari biasanya’ apa maksud dari kalimat itu, apakah sebelumnya dia tidak pernah merasakan keindahan langit? Apa karena selama ini dia tidak mensyukuri dan ikhlas dengan apa yang ada di dekatnya? Apakah mungkin– ah, tidak! Itu hanya perasaanku saja. Yang jelas sore ini mungkin bisa dikatakan sore terindah dalam hidupku.

Mei 2010
Seperti hujan, semakin awan berusaha membendung
Maka semakin banyak pula air yang menetes nantinya
Begitulah perasaanku kepadanya
Semakin disimpan semakin besar pula
Hingga aku tak sanggup lagi menampungnya
Laksana bunga di musim semi yang tak bisa sembunyi

Momen senja Tiga bulan lalu itu membuat kami semakin dekat. Begitu pula perasaanku kepadanya yang semakin jelas. Hati adalah penghubung antara kami dengan Allah, dan hati juga yang menghubungku kepadanya dirinya, tiada kebohongan dalam hati. Tuhan menciptakan rasa cinta. Dan aku mencintainya. Bukankah mencintai merupakan hal yang wajar.
Setiap kali mendengar kisah cinta Fatimah dan Ali, aku selalu berpikir, akankah kisah cintaku berpacu pada kisah cinta mereka. Saling menuntun kepada surga Sang Pencipta. Juga kisah cinta antara Hajar, Sarah, dan Nabi Ibrahim yang penuh dengan keikhlasan. Ataukah malah akan seperti cinta Zulaikha kepada Yusuf yang diikuti oleh campur tangan syaitan, bagaimana juga dengan cinta Adam dengan Hawa yang membuat mereka dibuang ke bumi. Entahlah, mungkin aku hanya mampu menyampaikan rasa cintaku kepadanya, selebihnya aku serahkan kepada Sang Pemilik cinta ini, seperti bumi yang juga telah berserah diri dengan memikul batu-batu yang berat juga Dzat yang telah memancangkan gunung-gunung yang kokoh diatasnya.
*****
Disinilah aku berdiri, di tempat yang sama, senja yang sama, dan di balik pohon yang sama. Aku tengah mempersiapkan diri untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan padanya selama ini. Merendahkan diri? Tentu saja tidak. Bukankah cinta merupakan salah satu fitrah manusia, terlebih negara ini adalah negara demokrasi dimana setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan pendapat. Tidak lupa juga mempersiapkan diri untuk mendengar jawaban apa yang akan dia berikan. Aku harus bisa ikhlas menerima apapun termasuk kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Memang tidak harus dia membalas dengan perasaan yang sama dan tidak perlu juga jika kami sampai berpacaran, tapi setidaknya aku sudah membuatnya mengetahui apa yang aku rasakan kepadanya.
Aku mulai melangkahkan kaki mendekatinya. Ah, kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Aku rasa itu adalah hal yang wajar dalam situasi seperti ini, tapi aku tidak akan ragu. Aku berusaha meyakinkan diriku.
“Eh, Zahra, belum pulang?” tanyanya.
“Belum, kak. Eh, iya, lupa ngucapin salam. Assalamu`alaikum.” ujarku sedikit gugup. Aku kembali meyakinkan diriku untuk tidak ragu.
“Wa`alaikumsalam. Sepertinya ada hal penting yang ingin kamu sampaikan.” ujarnya seperti tengah menenangkan.
“Begini, kak, aku mau mengatakan sesuatu pada kakak,”
“Oh, katakan saja, kakak dengan senang hati akan mendengarkan.”
“Sebenarnya sudah lama aku menyukai kak Ibrahim, mungkin sejak pertama kali aku melihat kakak yang tiba-tiba duduk di jajaran senior pada perkumpulan bulan Oktober lalu. Awalnya aku hanya penasaran, tapi semakin lama perasaan itu semakin muncul.” ungkapku tanpa ragu. Dia agak terkejut mendengar pernyataanku yang bisa dibilang sangat tiba-tiba.
“Apa kamu yakin dengan perasaan cinta kamu? Kita belum lama kenal, lho,” ucapnya berusaha tenang meski aku menangkap kesan salah tingkahnya.
“Aku juga bingung apakah ini bisa dikatakan cinta, mengingat kita belum lama mengenal. Ya, seperti saat aku tersentuh ketika membaca sebuah ayat tanpa aku tahu arti dari ayat tersebut. Atau seperti ketika memakan sepotong roti yang langsung bisa aku simpulkan bahwa rasanya enak tanpa perlu tahu siapa pembuatnya dan bagaimana membuatnya. Haha, bukankah terkadang cinta itu tidak logis dan malah bisa menutup mata dan telinga.” ujarku panjang lebar.
“Cinta memang seperti itu, sulit jika dijabarkan. Dan pernyataanmu tentang cinta tidak logis itu memang ada benarnya juga. Tetapi cukuplah cinta menutup pikiran, jangan sampai cintamu itu menutup mata dan telingamu terlebih hatimu. Kamu tahu, kan, cinta Zulaikha yang membutakan hatinya sehingga syaitan-lah yang memenuhi hati yang tertutup itu,” jelasnya.
Nasehatnya itu mengalir bagai gemericik air di sungai jernih, seperti tiupan angin sejuk yang mengantarkanku kembali menikmati senja dihadapanku.
“Iya, kak, aku mengerti itu. Terimakasih karena kak Ibrahim sudah bersedia mendengarkan apa yang aku rasakan selama ini.” Aku merasa suasana tiba-tiba menjadi canggung, atau hanya karena aku yang salah tingkah seperti ini?
“Iya, santai saja. Bukankah setiap orang mempunya hak bicara? Oh, iya, apakah kamu tidak mau mengetahui jawabanku?” ujarnya mencairkan suasana.
“Sebenarnya aku tidak mengharapkan kakak membalas rasaku saat ini, tidak juga bermaksud memaksakan perasaanku pada kakak. Bukankah jika Allah memang men-takdir-kan aku dengan kak Ibrahim, suatu saat nanti kita pasti akan berjodoh pada waktunya?” kataku tanpa keraguan.
Dia hanya terdiam. Aku menangkap kesan kecewa dari raut wajah kak Ibrahim, atau mungkin hanya perasaanku saja. Apa alasan dia kecewa? Apakah ada yang salah dengan ucapanku barusan? Ah, sepertinya aku tahu penyebabnya.
“Maaf jika obrolan ini menjadi satu arah. Sepertinya tadi aku berbicara tanpa feedback dari kakak. Apakah ada yang ingin kak Ibrahim katakan padaku?” ujarku berusaha menenangkannya.
“Tidak apa-apa, kok. Aku hanya sedikit terharu oleh keberanianmu mengungkapkan perasaanmu itu. Dan aku merasa tersanjung bisa dicintai oleh orang sebijak kamu. Sepertinya sore ini mendung, sebaiknya ayo kita segera pulang sebelum turun hujan.” katanya seperti mengalihkan pembicaraan.
Dia kemudian bergegas, aku pun ikut beranjak dari tempat kami duduk lalu berjalan mengikutinya dari belakang. Namun entah suara angin yang menggebu perasaanku atau memang nyata, dari arah depan dimana dia berada, selintas aku mendengar kak Ibrahim berkata:
“Kenapa aku tidak se-berani dia untuk mengungkapkan perasaanku. Dia bahkan mendahuluiku...”

Juli 2010
Sesaat kau menjelma menjadi sumber kekuatanku
Kehidupan seperti mata rantai yang terus menyambung
Ada pertemuan, ada pula perpisahan
Dan ketika sumber kekuatanku pergi, aku berpikir
‘apakah aku masih bisa terus melangkah tanpa kekuatan?’
Terkadang cinta membuat orang lemah menjadi kuat
Juga membuat orang kuat menjadi sangat lemah

Jam sudah menunjukkan pukul 13.45, artinya lima belas menit lagi kegiatan forum rutinan kami akan segera dimulai, para anggota juga sudah mulai berdatangan dan berkumpul di dalam mushola sekolah. Sementara aku masih enggan beranjak dari kelasku ini. Bukan karena malas, tapi entah kenapa aku merasa sedih karena hari ini kak Ibrahim akan menyampaikan materi untuk yang terkhir kalinya di forum kami. Barangkali bukan menyampaikan materi melainkan salam perpisahan.
Aku tersadar dari lamunanku ketika Santi memanggilku untuk bergegas ke mushola. Ketika sampai di mushola, objek pertama yang aku cari adalah dia. Kak Ibrahim sedang bersiap untuk berbicara di depan kami semua ditemani oleh kakak pembimbing lainnya.
“Assalamu`alaikum, bagaimana kabar kalian?” ucapnya membuka forum.
“Walaikumsalam. Alhamdulillah, luar biasa, Allahuakbar.” Kami serempak menjawab salamnya.
“Sepertinya suasana hari ini tidak sesemangat biasanya.” ujarnya mencairkan keadaan.
“Tentu saja tidak semangat, sebab salah satu dari kami akan pergi.” kata Ratna dengan wajah cemberut.
“Seperti yang aku katakan minggu lalu, aku tidak bisa lagi bersama-sama dengan kalian di sekolah ini.” kata kak Ibrahim menenangkan.
“Tapi, kan, aku pikir kakak hanya main-main saat itu.” ujar Santi tidak terima.
Ya, memang tiga minggu yang lalu kak Ibrahim memintaku bertemu di tempat biasa. Dia mengatakan bahwa dia akan pindah sekolah karena pekerjaan ayahnya dipindahkan ke Kalimantan dan mau tidak mau dia harus ikut. Dia bahkan mengatakan hal itu terlebih dahulu padaku sebelum mengumumkan kepada anggota FORI lainnya pada pertemuan minggu lalu. Saat itu entah kenapa terlintas dipikiranku bahwa kami memang benar-benar akan berpisah, tapi aku terus meyakinkan diriku bahwa dia hanya main-main. Kenyataannya dua minggu yang lalu dia sudah mengurus kepindahannya pada pihak sekolah.
 “Aku mengerti kalian pasti merasa kehilangan. Kehilangan memang memilukan. Tapi kehilangan hanya ada ketika kita merasa memiliki. Bagaimana kalau kita tidak pernah merasa memiliki? Dan sebaiknya kita jangan terlalu merasa memiliki, sebaliknya, kita malah yang harus merasa dimiliki. Oleh Sang Maha Pemilik,” jelasnya.
Seketika rasa ngilu datang menyergap bagai beludru yang mengoyak jiwaku. Bisa dikatakan jika dialah yang menjadi salah satu alasan aku tetap bertahan dengan cibiran disekitarku. Dan ketika dia harus pergi, aku merasa tulang-tulangku seperti terlepas dari persendiannya. Dia benar, kenapa aku harus merasa kehilangan sedangkan aku tidak pernah memiliki? Atas dasar apa aku harus merasa kehilangan? Setelah itu aku tidak lagi mendengar atau mungkin tidak ingin mendengar kata-kata perpisahan yang disampaikannya kepada anggota lain. Selama perkumpulan, aku sibuk dengan pikiranku sendiri, lebih tepatnya sibuk menenangkan hatiku yang merasa sangat kehilangan.
Perkumpulan pun selesai, para anggota saling bersalaman dengannya dan tidak sedikit diantara mereka meteteskan air mata. Sejauh ini, bukan waktu yang sebentar mereka bersama, tentu tidak mudah bagi mereka untuk berpisah. Meskipun memang tidak saling memiliki, tetap saja rasa kehilangan begitu kuat dirasakan.
Namun berbeda denganku. Aku masih saja mematung menatapnya dari tempatku semula. Entah kenapa hatiku begitu berat melepasnya. Ada rasa yang begitu pekat menyelimuti, rasa sesak yang menggerogoti semakin membuncah memenuhi rongga dadaku. Karena tidak sanggup berhadapan langsung dengannya, aku lebih memilih bergegas membereskan peralatanku ke dalam tas lalu pergi dari tempat ini.
Entah bagaimana, kaki ini menuntunku ke tempat yang sudah tidak asing lagi bagiku. Di tempat ini kami pertama kali bercakap-cakap. Di tempat ini kami banyak menghabiskan senja bersama, dan tempat ini pula yang menjadi saksi bisu saat aku menyatakan cinta kepadanya. Aku mendudukkan tubuhku di hamparan rumput yang biasa kami tempati lalu memandang kearah langit luas.
“Apa yang sedang kamu lakukan disini? Apa kamu tidak ingin mengucapkan salam perpisahan untukku seperti yang lain?” suara yang begitu aku kenal tiba-tiba menyadarkan lamunanku.
Aku menoleh kearah pemilik suara tersebut. Dia berjalan ke arahku lalu duduk di sampingku seraya tersenyum.
“Kenapa tidak boleh merasa memiliki?” tanyaku sarkastis secara tiba-tiba, membuatnya menatapku keheranan.
“Pada hakikatnya tidak ada satupun yang kita miliki. Kamu tahu, kan, segala yang ada di dunia ini hanya pinjaman. Bukankah waktu dan nyawa ini juga hanya pinjaman?”
“Tapi rasa memiliki membuat kita bertanggung jawab dan mencintai,” aku membela diri.
“Bahkan rasa cinta itu adalah titipan-Nya. Bukankah itu yang pernah kamu katakan? Tidak ada salahnya kamu mencintai dan mengambil tanggung jawab, tapi kita harus sadar bahwa Sang Pemilik setiap saat bisa meminta kembali milik-Nya. Karena itulah kenapa kita tidak boleh sepenuhnya merasa memiliki.” Jelasnya.
“Kakak benar. Aku salah karena tidak memikirkan konsekuensi yang akan aku terima ketika mulai mencintai sesuatu. Saat aku memakan roti yang aku anggap itu enak, aku akan terus memakannya hingga akhirnya roti itu habis dan aku tidak memiliki roti lagi.”
“Tidak ada yang perlu disalahkan. Terkadang saat cuaca cerah, seseorang tidak kepikiran untuk membawa payung. Sehingga ketika tiba-tiba hujan turun, dia harus rela kehujanan. Bukankah kita tidak dapat memprediksi apakah hujan akan turun di cuaca secerah itu?”
Alih-alih menghiraukan ucapannya, aku memilih menyibukkan diri memandang matahari yang tampak lebih sendu dari biasanya. Seolah menggambarkan keadaanku yang harus merelakannya.
“Sore ini kurasa senja berlalu begitu cepat, matahari terasa sendu terhalang oleh kumpulan awan. Lihatlah, bayangannya semakin menipis di ufuk barat sana. Kak, kamu tahu, aku merasa ingin menangis. Aku tak tahu kenapa, padahal aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa suatu saat kita memang harus berpisah. Tapi tetap saja aku merasa terluka. Aku terkejut karena aku tidak pernah membayangkan hal tersebut akan terjadi saat ini juga. Aku belum siap. Bolehkah aku menangis sekarang?” ujarku menahan kesesakan seraya menoleh ke arahnya.
Dia memutar badannya menghadapku lalu menuntun kedua tanganku menuju dadanya. Tanganku terasa kebas dan bergetar karena rasa takut. Takut kehilangannya.
“Aku mengerti perasaanmu kerena aku juga merasakannya. Bukankah kamu pernah mengatakan, jika Allah memang men-takdir-kan kita untuk berjodoh, suatu saat nanti Allah juga akan mempertemukan kita kembali, jika sudah waktunya. Dan kamu harus tahu, jika aku menjadi matahari itu, aku juga enggan meninggalkan senja. Sekarang kamu boleh menangis.”
Perkataannya itu membuatku tersentak. Refleks aku mencengkram erat seragam sekolahnya lalu menundukkan kepalaku menyembunyikan ekspresi yang tidak dapat kutahan lagi. Aku tersenyum getir saat merasakan pandanganku semakin kabur terhalang kristal bening yang terus mendesak keluar, membuatku menutup mata rapat-rapat berharap keadaan ini hanya mimpi. Hingga kurasakan kedua pipiku mulai basah.

Januari 2014
Dulu aku mengagumimu dalam diamku
Mencintaimu tanpa ingin tahu balasanmu
Dan sekarang, biarkan aku menunggumu
Dengan kesabaranku

Aku masih belum beranjak dari tempatku semula. Danau di hadapanku semakin terlihat indah karena membiaskan cahaya rembulan. Tanpa sadar aku merasakan sebuah aliran sungai kecil di kedua pipiku karena mengingat masa itu. Aku mengusap jejak air mata yang tersisa kemudian tersenyum miris karena aku masih tidak percaya bahwa senja itu benar-benar menjadi senja terakhir kami.
Sudah empat tahun berlalu tapi aku masih belum bisa melupakannya. Entah atas dasar apa aku masih saja menunggunya dengan harapan suatu saat dia akan kembali untukku. Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana kabarnya sekarang? Apakah dia masih mengingatku? Apakah dia masih sama seperti dulu? Atau malah menjadi semakin baik dibanding yang dulu? Begitu banyak yang ingin aku ketahui mengenai dirinya. Dan dari semua pertanyaan yang bermunculan, yang paling mengusik hatiku adalah: Apakah dia telah menemukan jodohnya? Aku kadang berpikir untuk apa aku terus memikirkannya. Tapi entah kenapa aku tetap saja membiarkan  perasaan seperti ini tetap mewarnai kehidupanku.
Aku merileks-kan tubuhku untuk bersandar pada sandaran kursi yang kududuki dengan pandangan masih tetap kearah danau. Tiba-tiba aku merasakan kursiku berderit pertanda ada orang lain yang duduk di sampingku. Karena penasaran, aku menoleh ke arah samping. Pemandangan yang membuatku berpikir apakah aku sudah tertidur di tempat ini hingga bermimpi, ataukah ini memang kenyataan. Tanpa sadar air mataku menetes kembali melewati bekas jejak yang masih tersisa tadi.
“Hai, Zahra, kenapa kamu menangis? Tidakkah kamu ingin menyapa kakak tercintamu ini yang lama tak bertemu? Apakah kamu tidak merindukanku?” ujarnya menyadarkanku. Ini nyata. Dia benar-benar kembali,, untukku?
*****
Kak Ibrahim menyodorkan air minum padaku. Aku menerimanya kemudian sedikit meneguknya untuk lebih meyakinkanku bahwa aku tidak dalam keadaan tertidur.
“Bagaimana kabarmu sekarang?” tanyanya membuka percakapan.
“Alhamdulillah baik. Bagaimana dengan kakak?”
“Alhamdulillah, aku juga baik. Semakin baik malah.” jawabnya.
Mungkin karena lama tidak bertemu, membuat suasana menjadi begitu canggung. Kami tidak tahu mesti membicarakan apa, terlebih insiden tadi membuatku semakin canggung lebih tepatnya malu. Kenapa aku harus menangis dihadapannya?
“Zahra, apakah kamu sudah bertemu dengan jodohmu?” tanyanya tiba-tiba. Terlebih apa sebenarnya maksud dari pertanyaan yang membuatku tersentak itu? Begitu mengejutkan saat dia menanyakan hal itu.
“Belum, kak. Mungkin belum waktunya. Bagaimana dengan kakak?” tanyaku waswas. Mungkin dulu aku tidak memerlukan jawaban darinya, tapi keadaan sekarang berbeda. Aku bahkan belum sempat mempersiapkan diriku untuk mengetahui kemungkinan terburuk.
“Alhamdulillah, Allah telah mempertemukan aku dengannya.” ujarnya.
JDERR!
Jawabannya itu bagaikan kilat yang menyambar diriku. Aku merasa jiwaku terpisah dari ragaku. Lemas, seolah semua tulangku melebur. Aku merasa menyesal telah menanyakan pertanyaan keramat itu kepadanya.
“Kamu tahu tentang kisah Adam yang kembali dipertemukan dengan Hawa oleh Allah setelah bertahun-tahun terpisah di bumi? Seperti itulah kisah cintaku.”
“Oh, ayolah, kamu tidak perlu melanjutkannya.” batinku memberontak.
“Berkat kebesaran Allah pula-lah yang mempertemukan aku dengan jodohku. Jodoh yang selama ini menungguku dengan sabar. Bukankah dulu kamu berkata, jika kita memang ditakdirkan untuk bersama, maka Allah akan mempertemukan kita kembali. Dan kamu tahu, aku bertemu dengan jodohku pada saat ini,, di sini,, di tempat ini..”[]

~THE END~

0 komentar:

Posting Komentar