Rabu, 18 Mei 2016

Warna dan Esensi Kebenaran

Kupikir hidup tidak seperti dualisme papan catur yang hanya ada hitam dan putih.
Barangkali ada jingga yang mengintip di sudut senja;
ada biru yang terhampar di lepas samudera;
ada merah dalam asa yang membara;
ada hijau yang segar ditengah bangunan-bangunan berpagar;
ada kuning cahaya matahari yang tak pernah ingkar janji;
ada merah muda pada hati yang tengah berbunga;
ada ungu yang memisahkan gelap dan terang;
ada abu-abu yang
masih tak tahu tempatnya berada.
Jadi, maksudku,
kupikir manusia tidak benar-benar tahu apa yang benar-benar benar,
dan tidak benar-benar tahu apa yang benar-benar salah.
Kupikir aku salah satu manusia itu.
Barangkali yang kubicarakan adalah benar, atau yang kauketahui itu tidak benar.
Tapi bisa jadi yang kauketahui adalah benar, atau yang kubicarakan ini tidak benar.
Jadi, maksudnya, apa esensi benar atau salah?
Entahlah, kupikir aku sedang belajar mengeja warna...

Untitle





Tempatku berada begitu temaram.
Terbata-bata layaknya si buta yang mengeja lentera.
Aku masih terbata; mengeja tentang kewajiban, tentang hak, tentang asas, tentang acuan yang kadang berstandar ganda;
Tentang makna.
Adakah harapan dalam jelaga yang menikam?
Berharap datang selaksa cahaya.
Oh, bagaimana cara menafsirkannya?

Agent of Change dan Sampah yang Terlantar



Agent of Change,” katanya
Tapi saat nongkron, dengan santai menghisap lintingan tembakau
Tak mau peduli orang lain punya hak hirup udara bersih
Setelahnya, puntung rokok dilempar, diinjak, ditinggal pergi
Oh, malangnya...

“Ingin wujudkan revolusi,” katanya
Bungkus permen saja masih dibuang di mana-mana
Ketika ditegur, tak ada tong sampah yang dekat, alasannya
Padahal kurang dari tujuh meter ada tong bertuliskan organik-anorganik
Huh, dasar pemalas! Revolusi dulu, lah, mental kalian!

“Kami insan kademisi,” katanya
Tapi saat

Prosa Liris | Surat yang Tak Pernah Terhantar

Frase yang kutumpuk dalam pikiran tidak juga menata dirinya sendiri menjadi sebuah kalimat, paragraf, kemudian menjadi surat yang kutulis untukmu.

Aku menemukanmu masih saja menyapa di sudut yang paling dalam. Kau tahu, otakku seakan disalahkan sebab ia dituduh mengalami distorsi, tapi menurutku ini bukan salahnya. Ini tentang hati!

Manusiawi, kan, jika bibirku bergumam sebagai manusia dan menyebutmu? Syukurlah aku masih bersikap waras. Kau juga sama warasnya, kan? Seharusnya kau tetap memanusiakan aku seperti manusia, bukannya angin lalu.