Rabu, 18 Mei 2016

Prosa Liris | Surat yang Tak Pernah Terhantar

Frase yang kutumpuk dalam pikiran tidak juga menata dirinya sendiri menjadi sebuah kalimat, paragraf, kemudian menjadi surat yang kutulis untukmu.

Aku menemukanmu masih saja menyapa di sudut yang paling dalam. Kau tahu, otakku seakan disalahkan sebab ia dituduh mengalami distorsi, tapi menurutku ini bukan salahnya. Ini tentang hati!

Manusiawi, kan, jika bibirku bergumam sebagai manusia dan menyebutmu? Syukurlah aku masih bersikap waras. Kau juga sama warasnya, kan? Seharusnya kau tetap memanusiakan aku seperti manusia, bukannya angin lalu.

Bukankah waktu kita sama; 24 jam dalam sehari semalam, menjelang pagi matahari terbit, saat senja ia siap terbenam. Sayangnya sampai saat ini aku masih saja menerka: ada apa dan siapa...di hatimu. Ruang sempitkah yang kau sediakan untukku? Ataukah ruang bergema yang membuatmu riuh memanggil namaku. Dengan hanya melihat siluet wajahmu, aku bisa tenggelam di dasar khayal yang tak seorangpun dapat menerka.

Senin kemarin awan kelabu menyapa dibuntuti sekawan air yang berjatuhan dari langit; di tempatku, mungkin di tempatmu berbeda. Langit yang sama, bumi yang sama, tuhan yang sama, tapi bisa saja kondisi menyamar menjadi tak serupa.

Terkadang kita sama-sama mencium aroma rindu dari tanah basah sebab kecupan hujan, tapi yang disayangkan adalah saat objek rindu itu berbeda; rinduku untukmu, sedang rindumu untuk siapa? Jarak kita tidak dekat, tapi ada rindu yang mengikat. Lebih tepatnya hanya rinduku yang menjerat.

Sepintar apapun kau menghindar, sembunyi-sembunyi aku masih bisa mengamatimu. Berjalan di jalanNya-kah, atau potong arah untuk tetap merasa paling diinginkan.

Pernah kuberpikir bahwa aku pantas untukmu. Tapi, aku lupa! Kepalaku ternyata lebih besar dari hatiku. Tolong jangan tertawakan aku!

Meski kutulis surat ini tentangmu atau tentang siapa yang pernah menghampiriku, ternyata alurnya tetap pada cerita yang sama; tentangmu dan tentangku, tidak ada tentang kita.
 

0 komentar:

Posting Komentar